Dipandu arkeolog Gunawan A Sambodo, ratusan peserta Blusukan Sejarah Kolonial menyusuri jejak peradaban kolonial di kawasan Berbah dan Kalasan. Mereka tekun dan kritis menyimak paparan arkeolog alumni FIB UGM ini. Dikawal pengurus Komunitas Kandang Kebo, termasuk dalam pengaturan lalu lintas dari dan ke situs sejarah, mereka mulai mengawali jelajah sejarah dari eks Stasiun Kalasan.
Dalam pantauan mabur.co, Minggu pagi (2/6/2024) suasana di sekitar stasiun yang berada di Dukuh Dogongan Tirtomartani Kalasan Sleman mendadak riuh. Ratusan pengendara memarkir kendaraan di depan stasiun yang dibangun 1929 oleh Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) tahun 1929 ini. PT KAI menonaktifkan stasiun ini tahun 2007. Dipandu Gunawan, para peserta memasuki ruang dalam stasiun yang tidak terawat. Dinding penuh coretan, beberapa bagian atap terlihat bocor. Kesan wingit bangunan kolonial ini masih terasa karena stasiun ini diapit dua pohon beringin.

Penelusuran dilanjutkan ke kawasan kota lama Berbah. Di sini pernah berdiri pabrik gula Tandjong Tirto. Tak aneh banyak bangunan yang tersisa dan dimanfaatkan oleh instansi pemerintah, polisi, militer dan didiami warga. Tujuan pertama SMP Negeri 1 Berbah. Sebuah bangunan indis yang masih terjaga. Pernah digunakan sebagai rumah dinas administrateur Belanda, dibangun 1923 sebagai bagian sarana dan prasarana PG Tandjong Tirto. Pabriknya sendiri–yang letaknya tepat di seberang jalan depan SMP Negeri I Berbah–dibangun pada 1874 oleh Internatio Internationale Crediet en Handelsvereeniging Rotterdam. Hanya menyisakan jejak beberapa bangunan karena pabrik gula telah berubah menjadi gedung pengeringan tembakau.

Berderet di sebelah kiri dan kanan gedung SMP Negeri I Berbah, berdiri rumah-rumah dinas ziender (pengawas) Suiker Fabrieek Tandjong Tirto. Salah satunya digunakan sebagai Mapolsek Berbah yang didirikan tahun 1924. Sementara di sisi utara, ada sebuah rumah ziender yang relatif masih utuh. Menurut tim survei Komunitas Kandang Kebo, Achid Zamroji, rumah itu didiami keluarga Netty Gabeller. Dia adalah generasi ke-7 yang mendiami rumah itu. Menurut penelusurannya, keluarga Gabeller masih bisa mendiami rumah itu sampai generasi ke-9. Penjelajahan dilanjutkan ke Koramil Berbah dan bekas rumah sakit Belanda yang kini sebagian menjadi UPT Puskesmas Berbah.
Setelah mengunjungi kerkhoff (makam Belanda) di dukuh Kalipentung Kalitirto, blusukan dilanjutkan ke sebuah yoni yang besar ukurannya di kompleks DPU Berbah. Menurut Transpiosa Riomandha (Pegiat Antrojalan) ini merupakan yoni terbesar selain yang berada di Candi Ijo. Ditemukan Belanda sekitar 1920 dengan cirikhas nagaraja. Sayangnya beberapa bagian terutama sisi depan sudah patah. Para peserta dipandu Gunawan terlihat kagum dengan yoni yang terbuat dari batu monolith itu. Banyak diantara mereka yang mengabadikan diri, sedang lainnya mengajukan beberapa pertanyaan kepada Gunawan. Tak jauh dari lokasi yoni ini mengalir Kali Opak.

Perjalanan dilanjutkan ke kompleks Kapanewon Kalasan. Sebuah kompleks cagar budaya dengan tiga jejak, yakni bangunan bekas rumah camat (penewu), bangunan lama kecamatan (kapanewon) Kalasan, serta gapura dan pagar lama kapanewon. Ketiganya telah tercatat sebagai cagar budaya berdasar SK Bupati Sleman Nomor 5.1/Kep.KDH/A/2021. Dari keterangan pada papan nama dijelaskan, cagar budaya ini sangat penting keberadaannya terkait sejarah pemerintahan Kabupaten Sleman.
Pada 1940 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan Rijkblad van Yogyakarta Nomor 13 yang membagi Kasultanan Yogyakarta menjadi empat kabupaten. Kabupaten Yogyakarta terdiri atas Distrik Kota dan Distrik Sleman. Pada zaman Jepang, Kasultanan Yogyakarta mereorganisasi wilayahnya dengan membagi Kabupaten Yogyakarta menjadi tiga kawedanan yaitu Kawedanan Kota, Sleman dan Kalasan. Kawedanan Sleman dipimpin R Ng Priggosumadi, sedang Kawedanan Kalasan dipimpin R Ng Pringgobiyono. Di Kapanewon Kalasan inilah letak kantor Kawedanan Kalasan.

Dalam paparan di hadapan peserta blusukan, Pembina Komunitas Kandang Kebo, Dr Minta Harsana MSc, menyampaikan terima kasih atas antusiasme peserta yang sengaja datang dari Blora, Semarang, Karanganyar, Klaten dan Yogyakarta. “Kawasan Kalasan dan khususnya Berbah bisa dijadikan tempat wisata edukasi berbasis heritage. Hari ini banyak guru yang sengaja datang untuk melihat secara langsung bagaimana objek cagar budaya. Ini bisa dikembangkan menjadi pembelajaran kontekstual bagi siswa”, tandas dosen UNY ini.
Sedang Wahjudi Djaja SS MPd dari Badan Promosi Pariwisata Sleman (BPPS) kepada mabur.co menyampaikan, sejarah adalah inspirasi pembangunan. “Selama dua hari mengikuti kegiatan Komunitas Kandang Kebo kita memperoleh inspirasi dan ide. Kawasan kota lama Berbah ini menarik untuk dinarasikan dan diangkat sebagai wisata alternatif di Sleman. Kita belum memiliki destinasi wisata berbasis budaya indis atau kolonial yang digarap secara serius. Semoga kepedulian dan langkah Komunitas Kandang Kebo ini bisa menyadarkan stakeholder di Sleman dan DIY untuk mengelola jejak sejarah perkebunan menjadi destinasi dan event tahunan”, ungkap dosen STIEPAR API Yogyakarta ini.
Setelah selesai penelusuran jejak Kawedanan Kalasan, dilanjutkan dengan makan siang bersama di pendopo Kapanewon Kalasan dan ramah ramah. Hadir dalam kegiatan blusukan ke Berbah dan Kalasan Ketua Komunitas Kandang Kebo Dr Maria Tri Widayanti, para arkeolog, pemerhati sejarah dan sejumlah media baik elektronik seperti Jogja TV dan media online.
(*)



