Di luar kesadaran manusia, pohon sejatinya adalah penjaga kehidupan. Selain bisa menjadi penyedia makanan, menjaga kesuburan tanah dan ketersediaan air serta oksigen, fungsi penting pohon adalah mitigasi perubahan iklim dan heritage alam.
Demikian disampaikan Edi Supadmo (Ketua Komunitas Resan Gunung Kidul) dalam Sarasehan Teknologi Nusantara Kuno. Sarasehan digelar Paguyuban Urip Urub, Jumat (4/10/2024) malam di Gudeg Bu Widodo 2 Wijilan. Hadir puluhan komunitas dari berbagai tempat di Yogyakarta dan sekitarnya.
Jika benda cagar budaya cukup waktu 50 tahun untuk diakui dan dilindungi, lanjut Padmo, banyak pohon yang berusia ratusan bahkan ribuan tahun yang tiada henti menopang kehidupan manusia.
“Maka mestinya ada perlakuan khusus bagi pohon yang telah berusia ratusan tahun. Bukannya justru ditebang tanpa ada upaya konservasi. Dalam banyak kisah, pohon menjadi awal mula berdirinya sebuah desa dengan berbagai kisah dan pelajaran di dalamnya. Ini yang perlu dipelajari dan diwariskan”, tandasnya.
Kepada mabur.co Padmo menyampaikan sejak 2018 pihaknya bersama relawan dan masyarakat mencari, membersihkan dan menjaga sumber mata air di berbagai lokasi di Gunung Kidul. Mereka bergerak dari cerita leluhur tentang keberadaan sumber mata air dan dilandasi oleh panggilan hati nurani.

Sedang narasumber kedua Wahjud Djaja dari Pokja Ketahanan Ekonomi Badan Kesbangpol DIY menyampaikan pentingnya semua pihak untuk belajar sejarah peradaban leluhur bangsa terkait pengelolaan dan penghormatan pada air.
“Dari zaman ke zaman leluhur kita mampu mengelola dan memuliakan air melalui berbagai tradisi dan ritual. Sejumlah prasasti era Mataram Kuna telah menulis tentang penghargaan raja pada desa yang mampu menjaga kelestarian lingkungan. Bahkan era Majapahit ada Kutara Manawa, sebuah undang-undang yang mengatur upaya menjaga lingkungan”, tandas Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama) ini.
Jika sistem pengelolaan air Subak di Bali didasarkan pada Trihita Karana, lanjut dosen STIE Pariwisata API Yogyakarta ini, Mataram (Yogyakarta) mengenal hamamayu hayuning bawana. “Ini yang perlu segera dicarikan praksisnya agar tak hanya sebagai wacana tetapi benar-benar dirasakan manfaatnya bagi alam dan kehidupan”, pungkasnya.
Sedangkan Eko Handiwiratirta selaku naratanggap mendorong agar selepas sarasehan ada gerakan berkelanjutan. “Sepulang sarasehan mari kita mulai bergerak. Kita tanam pohon yang mampu menyimpan air karena alam sedang tidak baik-baik saja. Kita susun rencana ke depan agar keberdaan air benar-benar dipedulikan mengingat perannya bagi kehidupan”, ungkapnya.
Sarasehan dibuka oleh pementasan Dhanang Jaya Cs yang menampilkan tembang bertema lingkungan. Closing statement diberikan oleh Agus Rahman yang mengurai aspek landasan filosofis keberadaan air dan fungsinya bagi kehidupan dan peradaban. Sarasehan diisi dengan diskusi dan tanya jawab dan diakhiri dengan ramah tamah.
(*)



