Danau purba Borobudur menjadi lanskap bawaan yang tak bisa dilepaskan dari konteks historis berdirinya candi Borobudur. Usianya dari plestosen akhir sampai akhir abad XIII. Saat candi Borobudur dibangun, keberadaan danau itu tak lagi luas dan bentuknya sudah berubah menjadi alur-alur rawa.
Demikian disampaikan peneliti danau purba Borobudur Dr Ir Helmi Murwanto MSi. Geolog UPN ini menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk Danau Purba Borobudur dan Perjalanan Peradabannya yang digelar Komunitas Kandang Kebo, Sabtu (16/12/2023). Bertindak sebagai moderator Dr Minta Harsana MSc.
Lingkungan danau secara berangsur-ansur mengalami pendangkalan, lanjutnya, akibat letusan gunung api dan longsoran lahar di sekitar danau. “Jika membuat candi semegah itu saja bisa, masa menyeberangkan material batu menyeberangi rawa-rawa tidak bisa, kan aneh. Oleh karena itu, keberadaan jejak atau tapak masa lalu Borobudur mestinya dilestarikan. Bangunan itu indah, kalau didukung oleh lanskap sekitarnya”, pungkasnya.
Sementara itu narasumber kedua Yenni Supandi SSi, MSi (MCB Koordinator Wilayah Jateng DIY) menjelaskan ketika didaftarkan sebagai warisan dunia tahun 1990, ada tiga kriteria yang dipenuhi oleh Borobudur temple compounds. “Pertama, mewakili mahakarya kejeniusan manusia kreatif, dimana candi Borobudur dengan piramida berundak tanpa atap yang terdiri atas sepuluh teras berurutan ke atas bermahkotakan kubah, berbentuk genta besar adalah gabungan yang harmonis antara stupa, candi dan gunung yang merupakan mahakarya arsitektur Budhis”, jelasnya.

Kedua, lanjutnya, Borobudur yang dibangun abad VIII-IX M mewakili karya seni monumental dari suatu era yang mempunyai pengaruh universal. “Arsitektur Borobudur memberi pengaruh besar bagi kebangkitan seni arsitektural sampai abad XVI, tidak hanya di Jawa atau Nusantara tetapi juga Kamboja. Raja Khmer Jayawarman II pernah belajar tentang percandian di Jawa”, tandasnya.
Kriteria berikutnya adalah bentuknya seperti sekuntum teratai. “Candi Borobudur adalah sebuah refleksi yang outstanding yang extraordinary perpaduan ide asli nenek moyang kita tentang pemujaan. Di India tidak ada model candi berundak. Punden berundak dipadukan dengan tahap-tahap bodhi satwa untuk mencapai kebudhaan dalam sepuluh teras”, jelasnya.
Dalam kaitan itu, lanjutnya, ada objek yang membawa nilai penting. “Itu disebut dengan atribut yang telah ditulis oleh peneliti seperti Daud Tanudirdja. Atribut itu, pertama berupa tiga bangunan candi (Borobudur, Pawon, Mendut) yang dikenal dengan lanskap kawasan Borobudur. Kedua, super koridor yang memuat filosofi perjalanan manusia dari samsara menuju pencerahan. Ketiga, lanskap budaya Borobudur yang merupakan perpaduan antara lanskap fisik dan budaya di dalamnya. Keempat, jejak danau purba Borobudur. Kelima, unsur-unsur arsitektural dan seni pada kompleks candi Borobudur. Keenam, nenek moyang telah memadukan unsur budaya lama dan baru serta sifat multikultural atau inklusif. Borobudur kini sifatnya universal dan bisa dimanfaatkan semua pihak”, jelasnya.
Hadir dalam acara tersebut Dewan Kebudayaan Sleman Untung Waluya, para arkeolog, anggota KK dan sejumlah tamu dari luar kota. Setelah diskusi, dilanjutkan sarasehan dan pemberian tanda mata dari Ketua Komunitas Kandanf Kebo Dr Maria Tri Widiyanti kepada narasumber serta pemberian doorprize. Pada Minggu (17/12/2023) mulai 07.30 Wib peserta akan diajak jalan-jalan untuk mengidentifikasi danau purba, Candi Mendut, candi Pawon, situs Brojonalan, dan situs Brongsongan. Titik kumpul di Dam Menayu, Ngemplak Ngrajek Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang.
(Wahjudi Djaja)



