Oleh: Wahjudi Djaja
13 Desember diperingati sebagai Hari Nusantara melalui Keppres Nomor 126 Tahun 2001. Sebuah visi, pemahaman dan komitmen tentang keindonesia yang utuh dan berdaulat disampaikan secara jernih dan cerdas oleh Djuanda Kartawidjaja pada 13 Desember 1957 saat menjadi Perdana Menteri (9 April 1957 – 6 Juli 1959). Mengapa deklarasi itu menjadi urgen dan vital bagi Indonesia?
Entah apa yang berkecamuk di benak Djuanda saat melihat wilayah Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 itu belum terlihat utuh dan menyatu. Sistem pemerintahan bercorak parlementer. Masa kepemimpinan nasional bisa jatuh bangun dengan mudah. Orientasi politik aliran menguat dan pergolakan terjadi di berbagai daerah. Hanya Djuanda, alumni ITB dan aktivis Muhammadiyah sejak muda ini, yang memiliki pemahaman utuh tentang keindonesiaan.
Teritoriale Zeeen en Maritime Kringen Ordonantie (Ordonansi Laut dan Daerah Maritim) sebuah peraturan bikinan Belanda tahun 1939–yang menjadikan wilayah Indonesia hanya berjarak 3 mil laut dari pulau–menyebabkan rentannya keamanan. Kapal asing bisa lalu lalang di laut dalam seperti Laut Jawa, Laut Makassar dan Laut Banda, hal yang bagi Djuanda sangat mengganggu Indonesia yang bercirikan negara kepulauan. Saat berkunjung ke Cirebon Presiden Soekarno kaget melihat banyaknya kapal berbendera asing. Sebuah kesadaran kebangsaan muncul bahwa Indonesia belum merupakan satu kesatuan terirorial laut.
Itulah sebabnya Djuanda tegas dalam bersikap dan mengeluarkan sebuah deklarasi. Bahwa ordonansi Belanda dinyatakan tidak berlaku karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki corak tersendiri dan Nusantara merupakan satu kesatuan sejak dulu. Lebar wilayah laut Indonesia diperluas menjadi 12 mil laut sehingga mengintegrasikan wilayah Nusantara.
Butuh perjuangan panjang, berliku dan tekun untuk meyakinkan masyarakat dunia. Bukan saja ini menegasikan kemungkinan masuknya kembali kolonialisme tetapi perjuangan diplomat kita menjadi contoh negara-negara jajahan di berbagai belahan dunia. Mulailah diplomasi di Konvensi Hukum Laut PBB di Jenewa pada 1958 dan 1960. Sementara itu pemerintah mengukuhkan Deklarasi Djuanda melalui Perppu No. 4 tahun 1960, Peraturan Pemerintah No. 8/1962 dan Keppres No. 103/1963. Akhirnya, terotorial laut menjadi keputusan Konvensi Hukum Laut PBB di Montego Bay, Jamaika, pada 10 Desember 1982.
Pola pikir yang merdeka dan berdaulat telah ditunjukkan secara cerdas dan elegan oleh seorang negarawan sejati. Deklarasi Djuanda adalah titik penting perjalanan keindonesiaan setelah Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi 1945. Dalam sebuah kesempatan Anies Baswedan menyebut bahwa Deklarasi Djuanda serupa proklamasi kedua untuk meneguhkan kedaulatan bangsa sebagai satu tanah air. Adalah dua diplomat ulung kita, Mochtar Kusumaatmadja dan Hasjim Djalal, yang mampu menegosiasikan Deklarasi Djuanda sehingga diakui dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982.
Apa yang hendak disampaikan dari catatan singkat ini? Pertama, perlu keteladanan dan karakter yang kuat dari para pemimpin bangsa untuk memahami Indonesia sebagai satu kesatuan negara yang utuh dan berdaulat. Selagi visi mereka tajam dan mengakar di Bumi Nusantara, Indonesia akan dihargai oleh masyarakat dunia. Kedua, melihat Indonesia sebagai satu kesatuan hanya bisa dilakukan oleh pemimpin bangsa yang memiliki komitmen mewujudkan keadilan, pemerataan dan kesetaraan. Kondisi multietnik dan multikultur bisa jadi potennsi jika mereka paham perjalanan sejarah bangsa.
Ketiga, saat sebagian besar anak bangsa tidak paham dengan Wawasan Nusantara–dan sebagian lainnyabhanya melihatnya sebagai idiom Orde Baru–maka sejatinya kedaulatan bangsa di ambang kerawanan. Praktik penjualan atau persewaan pulau untuk kepentingan kaum oligarkhi tidak saja menyakiti hati nasional tetapi juga mengkhianati perjuangan para pemimpin bangsa pada masa lalu. Keempat, semakin menurunnya penghormatan masyarakat internasional pada Indonesia di berbagai forum jelas merupakan indikator melemahnya kemampuan diplomasi dan terjebak pada pola hubungan transaksiona. Dulu Indonesia hadir sebagai leader dunia dengan ide-ide cemerlang untuk perdamaian dan kemajuan dunia. Tak terbayang jika kini hanya menjadi penonton, dealer dan follower.
Jika lama Indonesia dikenal sebagai negara bahari jauh sebelum Abad Masehi dan menjadi negara kepulauan terbesar di dunia dengan kekayaan alam yang luar biasa, dan kini tak juga beranjak dari kemiskinan dan korupsi, maka kembali pada bangsa ini. Bersyukur lalu hidup akan lebih makmur atau kufur dan hidup akan semakin hancur. Wallahu alam
Ksatrian Sendaren, 13 Desember 2023
*Budayawan, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (KASAGAMA)



