Oleh: Wahjudi Djaja*
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 belum merupakan akhir perjuangan bangsa Indonesia. Belanda masih bernafsu untuk menganeksasi kembali, sementara ibukota pindah ke Yogyakarta, pemerintah mengirim delegasi ke Arab untuk memperoleh dukungan. Mesir merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan diumumkan pada 22 Maret 1946.
Perjuangan bangsa Indonesia tak luput dari perhatian negara-negara Arab. Selain karena sebagai sesama bangsa muslim, para diplomat kita tak henti menjalin komunikasi dengan negara lain mengingat Belanda belum juga mengakui kedaulatan Indonesia. Dalam sidang Dewan Liga Arab pada 18 November 1946–tiga bulan setelah Indonesia merdeka–diambil keputusan yang sangat berarti: semua negara anggota dianjurkan untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia berdasarkan ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan. Liga Arab antara lain beranggotakan Mesir, Yordania, Arab Saudi, Suriah, Yaman dan Lebanon.
Untuk menyampaikan hasil musyawarah Dewan Liga Arab mengutus konsul jendral Mesir di India, Muhammad Abdul Mun’im, untuk bertemu Presiden Soekarno di Yogyakarta. Melalui perjuangan berat dan berliku–mengingat blokade Belanda–Mun’im tiba di Yogyakarta pada 13 Maret 1947 disambut Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Baru pada 15 Maret 1947 Mun’im diterima Bung Karno di Istana Gedung Agung.

Kepedulian bangsa Arab atas kemerdekaan Indonesia disambut para pemimpin bangsa. Indonesia mengirimkan delegasi ke Arab yang terdiri atas empat diplomat kawakan, Haji Agus Salim, AR Baswedan, Nasir Pamuntjak dan Rasyidi. Mereka berangkat pada 10 April 1947. Akhirnya, Indonesia dan Mesir menandatangani perjanjian kerja sama pada 10 Juni 1947. Tak tanggung-tanggung, Mesir membentuk Komite Pembela Kemerdekaan Indonesia dan menanggung kehidupan ekonomi warga Indonesia di Mesir. Dokumen penting ini dibawa AR Baswedan dengan perjuangan yang tak mudah. Belanda selalu mengintai baik di pelabuhan maupun bandara, sehingga muncul ide menaruh dokumen di dalam sepatu.
Dukungan bangsa-bangsa Arab tidak saja menaikkan moril perjuangan bangsa Indonesia, tetapi juga membantu mempermudah diplomasi di PBB. Muncul kekuatan baru yang mendukung kemerdekaan Indonesia sehingga secara tidak langsung menekan Belanda.
Apa yang diperankan para pemimpin bangsa di atas adalah teladan yang sangat luar biasa. Masalah dalam negeri seolah membelit tiada henti tetapi itu tidak memadamkan nyali untuk membuktikan kemampuan diri. Mereka adalah generasi pertama para pemimpin yang dihormati dan disegani. Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia membalas kebaikan dan kepedulian bangsa-bangsa Arab saat menggelar Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955. Dasasila Bandung menginspirasi bangsa-bangsa Afrika untuk memerdekakan diri. Sebuah hubungan diplomasi yang indah dikenang. Aneh kalau bangsa ini menjadi abai dengan nasib Palestina dan segala penjajahan di atas dunia. (Dari berbagai sumber)
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



