DiVo

Oleh: Saleh Abdullah*

Pin merpati putih simbol antiperang dan perdamaian ia sematkan di dadanya pada perhelatan Academy Awards ke-75, tahun 2003. Pada perhelatan itu ia juga memberi tepuk tangan keras menyambut pidato Michael Moore, pembuat film yang juga penulis dan aktifis, yang mengritik invasi George W Bush ke Irak.

Martin Scorsese mungkin mencoba konsisten dengan kata-katanya sendiri ketika ia bilang, “Cinema is a matter of what’s in the frame and what’s out.” Artinya, dalam tafsir dhaif saya, pertunjukan film itu merupakan refleksi dari pertunjukan di luar. Begitulah pula penjelasan Scorsese tentang film terakhirnya, The Irishman. Kisah horor sosiopolitik yang memandang sebagian besar sejarah Amerika modern sebagai kejahatan yang terus menerus terjadi, di mana setiap lapisan masyarakat—mulai dari kehidupan rumah tangga ke bisnis lokal lalu ke bisnis besar hingga politik nasional dan internasional— diracuni oleh korupsi dan suap. Kesepakatan curang, uang kotor, ancaman kekerasan dan penerapannya yang mengerikan, serta impunitas yang membuat seluruh sistem tetap berjalan.

Lalu seorang teman bertanya, “Apakah saya sudah menonton film DiVo?” Saya bilang, “Sudah. Semuanya”. Ketika si teman bertanya apa kesan saya atas film itu, saya enggan berkomentar apapun. Siapalah saya? Orang film bukan. Kenal dengan mereka yang terlibat di film itupun, tidak. Tapi saya suka dengan film yang bagus. Saya lalu teringat ungkapan kocak ini. “Menonton film bagus satu kali, itu flirting. Nonton dua kali, itu dating.”

Saya lalu tertarik dengan apa yang dikatakan Scorsese di atas. Saya tertarik melihat reaksi publik atas film DiVo. Yang memuji, yang mengapresiasi, yang kritis, yang menyepelekan, yang merasa bosan, hatta yang menganggapnya sebagai film yang mengandung kebohongan dan fitnah seraya mendegradasi integritas tiga ahli hukum tata negara di film ini. Menarik sekali!

Saya lalu bertanya. Lha, kalau film ini dianggap penebar kebohongan, membosankan, memfitnah, lalu apa arti dari fakta bahwa film ini, dalam dua hari saja, sudah ditonton tujuh jutaan orang (ada yang bilang sudah belasan juta), diberi like 300-an ribu, dan dikomentari puluhan ribu? Apa arti semua itu?

Scorsese, kelihatannya antum benar!

Apakah film ini telah berhasil membongkar syahwat-syahwat terpendam yang selama ini tidak atau susah manifest? Saya tidak tahu. Tapi mungkin baik untuk mengingat apa yang dikatakan Slavoj Žižek ini, “Film adalah seni paling cabul. Ia tidak memberi anda apa yang anda inginkan. Ia memberi tahu anda bagaimana menginginkannya”.
Tabea!

*Penulis lepas

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co