Berbicara mengenai Kali Progo sebetulnya tak hanya tentang sungai semata namun juga lingkungan sekitarnya. Batang Kali Progo yang mengular sejak kaki Gunung Sindoro sampai Laut Selatan menyimpan beragam jejak sejarah dan arkeologis terkait sejarah peradaban silam.
Arkeolog lulusan UGM yang juga epigraf Goenawan A Sambodo menyampaikan hal itu saat jadi narasumber dalam Sarasehan “Menyibak Kali Progo” dalam rangkaian Memetri Kali Progo di Kedai Nyawiji Bendo Trimurti Srandakan Bantul, Sabtu (24/6/2023). Dalam sarasehan yang dimoderatori Wahjudi Djaja (Ketua Keluarga Alumni Sejarah UGM), banyak dikisahkan jejak arkeologis yang bisa diangkat sebagai narasi pengembangan pariwisata.
Lebih jauh diuraikan, membahas Kali Progo sebaiknya juga harus membicarakan kawasan hulu sampai hilir. “Hulu Kali Progo berada di Sindoro yakni Umbul Jumprit yang menjadi peradaban masa lalu. Di kawasan hulu ditemukan situs Liyangan yang sangat lengkap, berisi kompleks peribadatan, pemukiman, dan pertanian seperti desa yang hilang karena letusan Sindoro”, paparnya.
Sisi tengah Kali Progo, lanjutnya, juga ditemukan bukti peradaban silam, yakni Candi Borobudur, Mendut dan Pawon yang ada sejak abad VIII. “Ditemukan juga prasasti Gunung Wukir yang yang menjadi titik awal peradaban Hindu Budha. Sedangkan di Nanggulan ditemukan prasasti Salimar yang memuat batas wilayah. “Tanah perdikan Salimar (Sleman) membentang sekitar Kali Code (UIN) sampai Nanggulan yang hidup pada abad VIII-IX. Ada juga prasasti berangka tahun 822 berupa daerah Huwung dan para pejabatnya”, tandasnya.
Sedangkan kawasan Bendo Trimurti Srandakan Bantul, menurutnya, merupakan bagian akhir batang Kali Progo. “Dahulu Kali Progo merupakan sarana transportasi sampai masa kolonial. Bukan hal aneh jika ditemukan kapal atau perahu yang digunakan penduduk untuk mengirim barang dagangan”, jelasnya.
Terkait peradaban yang berada di sepanjang kawasan Kali Progo, diceritakan, dulu juga pernah dijadikan asrama atau padepokan para brahmana mirip univeritas yang multidisiplin yang mengajarkan teknologi, filsafat dll, yang kemudian terbagi lagi menjadi 377 bidang ilmu.
Jika di Yogyakarta terdapat tujuh sungai, lanjutnya, sudah ada dan berpengaruh sejak era Medang (kini wilayahnya meliputi DIY dan Jateng bagian selatan). Ke tujuh sungai itu sering disebut sapta sindawa. “Bukan sebuah kebetulan jika HB I mendirikan Kesultanan Yogyakarta di tengah-tengah ke tujuh sungai itu. Hal itu merupakan manifestasi dari mikrokosmis dunia, yakni tujuh samudera tujuh benua”, pungkasnya.
Dalam sambutannya Dukuh Bendo, Partono, menyampaikan Memetri Kali Progo yang digelar ini adalah upaya untuk mengangkat potensi wisata termasuk Kali Progo. “Kami memiliki beragam potensi yang bisa diangkat. Selain sebagai sentra mie lethek, Bendo juga memiliki makam tua, destinasi Omah Bubrah dan UMKM. Warga kami juga memiliki beragam jenis pusaka yang kurang terawat. Semoga ke depannya bisa kami angkat”, harapnya.
(Jay)



