Oleh: Anif Punto Utomo*
Eropa, Saya Datang!
‘’Mama sama bapak dateng, di Perancis lagi rusuh-rusuhnya,’’ begitu WA dari Herdy, anak bungsu yang baru saja menyelesaikan kuliah student exchange di Kedge Bussiness School di Bordeaux, kota di sisi barat Perancis.
Ya, siang itu Jumat 30 Juni 2023 saya dan istri (Lilies) mendarat di bandara Charles de Gaulle Paris. Di sekitaran tanggal tersebut, kerusuhan masih terjadi pada beberapa kota di Perancis. Sempat ada kehawatiran juga karena bagaimanapun ini kerusuhan di benua lain. Saya pernah meliput kerusuhan yang lebih dahsyat di beberapa titik ketika terjadi krisis 1998, tetapi itu di negeri sendiri. Kalau terjadi sesuatu banyak yang membantu. Nah, ini di negeri orang.
***
Suatu pagi di Nanterre, pinggiran kota Perancis. Berawal dari dua petugas polisi yang menghentikan pengendara mobil yang melanggar lalu-lintas. Entah bagaimana, salah satu polisi menodongkan pistol ke arah jendela mobil. Jaraknya cukup dekat, hanya sekian depa. ‘’Dor..dor..dor.’’ Tiba-tiba pistol polisi itu menyalak. Sesaat mobil bergerak maju dengan pelan. Beberapa puluh meter kemudian mobil menabrak pembatas dan langsung berhenti.
Rupanya pengemudi mobil itu seorang remaja. Nahel Merzouk namanya. Usia 17 tahun, keturunan Aljazair-Maroko. Petugas layanan darurat yang kemudian datang ke lokasi kejadian sudah mendapati remaja itu tidak bergerak. Usaha menyadarkan dilakukan, tapi nihil. Remaja itu telah tewas diterjang peluru polisi. Sontak kabar ‘pembunuhan’ itu menyebar secara masif lewat media sosial. Isu rasial meletup, liar, dan tak terkendali.
Selasa malam itu juga, 27 Juni 2023, Perancis mencekam. Kerusuhan terjadi dan menyebar terutama di kawsan atau kota-kota yang banyak pendatang. Selain di Nantarre, kerusuhan yang berkembang menjadi penjarahan toko juga terjadi di Marseille dan Lyon. Di beberapa tempat terjadi perusakan fasilitas umum serta pembakaran bangunan. Ratusan mobil hancur dan terbakar menjadi bangkai.
Sudah menjadi pengertian jamak bahwa situasi sosial di Perancis ibarat api dalam sekam. Perlakuan rasis polisi dan pemerintah terhadap imigran dari Afrika dan Arab telah memunculkan kemarahan massal di komunitas mereka. Untuk sementara, kemarahan itu tersimpan rapat. Namun ketika kemudian ada pemantik, maka api dalam sekam menyala. Penembakan yang menewaskan Nahel menjadi pemantik. Api kemarahan para imigran menyala.
Lagi pula penembakan ini bukan pertama kali terjadi. Kantor berita Reuters mencatat dua orang tewas ditembak polisi setelah menolak mematuhi perhentian lalu lintas pada 2020, menyusul tiga orang tewas untuk alasan yang sama pada 2021. Tahun berikutnya 2022 lebih mengerikan karena ada 13 nyawa melayang lagi-lagi untuk alasan yang sama pula. Korban penembakan adalah orang kulit hitam atau keturunan Arab.
Kemarahan meledak menjadi kerusuhan. Untuk meredakan, setidaknya 50.000 pasukan keamanan lengkap dengan senjata berat dikerahkan di wilayah rawan. Data terakhir, dampak kerusuhan yang terjadi selama hampir sepekan itu cukup mencengangkan: Kebakaran di 2.560 titik area publik, 1.350 kendaraan dibakar, 234 gedung dirusak beberapa di antaranya dibakar, 994 orang ditangkap dan 79 aparat keamanan terluka.
‘’Alhamdulillah tidak ada korban dari masyarakat Indonesia di Perancis,’’ kata Dubes Indonesia untuk Perancis Mohamad Oemar saat kami sekeluarga berkunjung ke kediamannya di Wisma Duta di Boulevard Bineau 154 Neuilly Sur-Seini, Paris. Berdasarkan catatan KBRI, jumlah warga Indonesia yang berada di Perancis sekitar 6.595 orang, mayoritas mahasiswa. Mas Oemar –begitu kami memanggil—saat itu sedang sibuk menjadi narasumber media di Indonesia.
***
Ketika roda pesawat mulai menjejak di aspal bandara de Gaulle, memang sempat muncul kekhawatiran, jangan-jangan nanti menjadi korban kerusuhan. Tetapi kekhawatiran itu meredup tatkala di bandara de Gaulle sama sekali tidak tampak adanya kecemasan, baik dari penumpang yang mendarat maupun yang akan berangkat. Semua tampak biasa saja.
Sehari berikutnya, ketika berjalan-jalan di pusat kota Paris, situasi terlihat normal. Baik masyarakat setempat maupun turis berjalan melenggang tanpa raut wajah kecemasan. Mobil tetap lalu-lalang, kereta metro beroperasi sesuai jadwal, bus umum tetap jalan, bus wisata tanpa atap pun tetap beroperasi.
Café-café di trotoar yang menjadi ciri khas Perancis tetap ramai. Pusat perbelanjaan barang mewah Galleries Lafayette yang terkenal sebagai tempat belanja turis, berjubel. Antrean panjang ditemui di gerai merek-merek berkelas, bisa sampai 20 meter, dan mayoritas berkulit Asia Timur. Roof-topnya dipenuhi orang untuk sekadar foto-foto sambil melihat pemandangan Paris dari atas. Menara Eiffel tampak di kejauhan.
Keramaian serupa juga tampak di lokasi wisata seperti Menara Eiffel, Museum Luvre, monument bersejarah Arc The Triomphe, alun-alun besar Place De La Concorde, sungai Sein, bahkan Champs-Élysées yang sebelumnya sempat terjadi sedikit kerusuhan, pada H+5 sudah bersih dan mulai dibanjiri turis pemburu barang bermerek. Pusat kota Paris tampak tenteram.
Memang di beberapa sudut kota kadang terlihat pasukan pengamanan yang berjaga, berkelompok empat sampai enam orang, tapi tidak menakutkan.

Bordeaux yang saya singgahi pada H+10 awal kondisi sudah benar-benar normal. Apalagi memang Bordeaux merupakan salah satu kota yang steril dari kerusuhan besar, hanya bakar-bakar ban di satu tempat. ‘’Di sini aman mas,’’ kata Rian, bapak tiga anak yang sudah satu dekade bersama keluarga tinggal di Bordeaux.
***
Ini adalah perjalanan saya pertama kali ke Eropa. Dulu sewaktu menjadi wartawan Republika pernah ditawari meliput ke Eropa, tapi ketika kemudian ada pilihan lain untuk ke Pakistan, saya memilih yang ke kedua. Pertimbangannya sederhana, ke Eropa mungkin suatu saat saya bisa berwisata sendiri atau bersama keluarga, sementara berwisata ke Pakistan tipis kemungkinannya. Dan pertimbangan itu benar belaka (belaka–meminjam kosakata yang sering digunakan oleh Hamid Basyaib).
(Ketika di Pakistan sempat ke kota Mingora yang dikelilingi sungai dan lembah Swat yang indah. Di kota itu itu pula Malala Yousafzai ditembak Taliban).
Dipicu oleh selesainya Herdy kuliah satu semester student exchange, dan kebetulan Lilies juga ada training di Paris, saya ikut bertolak ke negeri yang kaya bangunan bersejarah itu. Jadi sambil menyelam minum air, menemani Lilies sekalian menjemput Herdy.
Tentu saja perjalanan ke Eropa sangat disayangkan jika hanya berkunjung ke satu negara. Visa Schengen sudah di tangan sehingga bisa masuk di hampir seluruh negara di Eropa. Maka meskipun waktunya terbatas, tetaplah direncanakan perjalanan ke beberapa negara.
Dengan melihat berbagai aspek, diputuskan berkeliling ke lima negara yakni Perancis (Paris dan Bordeaux-tujuh hari), Jerman (Munchen-tiga hari), Swiss (Zurich-satu hari), Itali (Milan-satu hari), dan Spanyol (Palma-satu hari). Rutenya dari dari Paris ke Bordeaux, balik lagi ke Paris. Berikutnya dari Paris ke Munchen, berlanjut ke Zurich, ke Milan, terus ke Palma de Mollurca, dan kembali ke Munchen.
Terpikir, kenang-kenangan pribadi apa yang bisa abadi ketika berada di negeri lain? Foto-foto pasti, dan itu sudah biasa karena dilakukan semua orang. Tiba-tiba terlintas pikiran untuk lari pagi sebagaimana yang biasa saya lakukan di Jakarta. Ya, lari. Di negara-negara di Eropa biasanya punya sungai yang indah dan terawat, asyik juga kalau lari menyusur sungai.
Itulah yang kemudian saya lakukan. Tidak selalu menyusur sungai, karena tidak setiap kota yang saya singgahi ada sungai. Jika tidak ada sungai diusahakan tetap di pinggir air, maka ada yang menyusur danau ada pula yang menyusur pantai. Tidak pula selalu pagi, karena terkadang sempatnya agak siangan atau bahkan petang hari sekalian melihat matahari terbenam yang saat itu sekitar pukul 21.30.
Dimulai dari lari pagi di Paris menyusuri sungai Seine, menyusul sungai Garonne di Bordeaux (Perancis), kemudian sungai Isar di Munchen (Jerman), berikutnya menyusur danau Como (Itali), berlanjut sungai Limmat di Zurich (Swiss), dan terakhir di menyusur pantai di Palma de Mollurca (Spanyol). Lari cukup easy run karena sembari menikmati pemandangan dan kadang-kadang perlu selfi. Jarak pun tidak jauh-jauh, antara 3,6-12,8 kilometer. Kisaran suhu udara ada yang sejuk 21 derajat, tetapi ada yang lebih panas dari Jakarta, 36 derajat selsius.
Agustus bulan depan, Gorby (anak sulung) dan istrinya Semi, berangkat kuliah S2 di Belanda. Keduanya sama-sama mendapat beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Semoga tahun depan punya bekal lagi untuk ‘tilik’ anak sekalian keliling di Eropa lagi, masih tersisa belasan negara yang belum disambangi. Sekalian nanti mengajak Audy, anak perempuan nomor dua, untuk keliling Eropa jilid dua.
Kelak pengalaman menyusur sungai di negara-negara Eropa dan peta lari yang tersimpan di Garmin akan semakin lengkap.
*Jurnalis Senior



