Oleh: Wahjudi Djaja
Dalam momen penting tertentu, kita–baik sebagai pribadi maupun kolektif–sering melakukan refleksi. Ada perjalanan yang telah ditempuh, ada harapan yang harus dikayuh. Pada momen–seperti ulang tahun–itu kita sering meletakkan titik kesadaran baru.
Untuk bisa memahami seseorang, cara yang paling baik dan bijak–apa boleh buat–adalah dengan membaca rekam jejaknya. Sebuah catatan kesejarahan yang pernah dilalui dan menjadi dokumen faktual yang bisa dijadikan pustaka bagi siapa saja yang mau membacanya. Dan di era digital, sebetulnya tidak terlalu sulit menemukan data dan fakta sosial seseorang. Sayangnya, literasi digital kita memang kurang mendalam sehingga simpulan atau kesan yang diperoleh menjadi kurang sempurna. Dalam beberapa hal, jujur saya juga belum banyak tahu sosok yang akan saya tulis berikut. Sebagai sebentuk ungkapan kebahagiaan, bolehlah itu dikerjakan.
Fachry Ali, sosok intelektual muslim dengan beragam peran ini, dalam banyak sisi telah mengingatkan kembali pada kita tentang apa dan siapa yang disebut intelektual. Lebih dari seorang yang akademisi atau ilmuwan, Bang Fachry demikian saya menyapanya, merujuk pada sosok yang–menurut KBBI–cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; mempunyai kecerdasan yang tinggi; cendekiawan; totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman. Untuk membacanya, saya perlu menempatkannya pada dua konteks sosial politis berikut dimana sosok kelahiran Aceh ini menghikmati perannya.
Ironi Peran Intelektual
Cukup mencengangkan bahwa sejak 2014 suara kaum intelektual nyaris tak terdengar. Ada semacam euforia, kepuasan dan kebanggaan bisa mendudukkan representasi civil society di tampuk kekuasaan. Sejak Orde Baru, bisa jadi baru periode ini terjadi mobilisasi kalangan intelektual, yang–konsekuensi logisnya adalah–menyebabkan keringnya daya kritis pada kekuasaan, kaburnya keberpihakan pada rakyat, dan rapuhnya kelas menengah.
Kampus-kampus seperti tertidur pulas dengan impian menjadi universitas kelas dunia. Banyak alumni luar negeri tetapi gagal dalam melakukan–meminjam istilah Alfian–perantauan intelektual. Beragam teori sosial dipelajari tetapi tak nampak dari mereka yang mampu–dalam istilah Umar Kayam–melakukan transformasi sosial. Sementara itu realitanya rakyat kebanyakan seperti dijauhkan dari advokasi atas realita kehidupan yang mereka hadapi. Day to day mereka berjibaku dengan duka derita kemiskinan dan pengangguran, tetapi itu nyaris tak nampak di permukaan sehingga meluncurlah simpulan sederhana: keadaan baik-baik saja. Data, survei, media bisalah dikendalikan.
Tiba-tiba kita tersentak kaget ketika panggung politik nasional berlinang air mata. Kok bisa? Tentu, pertanyaan ini mempunyai dua sisi. Kok bisa mereka, yang selama ini berdiri di belakang kekuasaan, menangis tersedu-sedu di depan publik? Apakah mereka salah pilih atau salah langkah? Lalu, kok bisa–ini sisi kedua–mereka baru menyadarinya sekarang? Bukankah banyak ekonom, pakar politik, dan berbagai lembaga kajian telah memberikan rekomendasi?
Tapi tak ada yang aneh dalam politik, meski kadang sedih juga melihat etika dan moralitas ditanggalkan begitu saja. Maka, seperti sebuah tanggul yang jebol, arus air kemarahan pun meledak menghantam apa saja yang ada, dilihat dan terjadi. Antarelite bongkar-bongkaran rahasia dan bergerak ke bawah sehingga meluas. Kawan jadi lawan, lawan jadi kawan katanya biasa, kita tertawa dalam seribu makna.
Tragedi Kekuasaan
Dalam konfigurasi sosial politik itu Bang Fachry hendak dibaca. Mengikuti analisisnya tentang tokoh, peristiwa dan peta perpolitikan nasional melalui wawancara TV, artikel dan opini atau kanal Kofi TV (Kolom Fachry Ali) sedikit banyak bisa meredam dahaga intelektual. Menggelitik, apa adanya, “matur wantah” dan mengena. Tentu itu bukan hal yang sulit bagi Bang Fachry. Hampir semua elite masih berada dalam cengkeraman radar intelektualnya, baik yang yunior apalagi yang rata-raya sezaman dengannya. Beliau bisa detail memahami tokoh berikut kalkulasi politik yang mengikutinya.
Tetapi harus diakui–setidaknya dalam pandangan saya–baru pada Kofi Edisi Tragedi Politik SBY, Bang Fachry begitu bernyali, tajam menukik dan tepat dalam mengartikulasikan kegelisahan intelektual, sekaligus membedah karakter tokoh dengan begitu apik. Benar-benar sebuah tragedi! Bagaimana mungkin tokoh sentral Partai Demokrat ini terkesan terburu-buru mengambil keputusan keluar dari Koalisi Perubahan, tetapi–di pihak lain di Koalisi Indonesia Maju–perannya menjadi tak signifikan. Keinginan turun gunung pelan-pelan kehilangan konteks. Tak pernah diduga “dredah” ini akan terjadi jika MK tidak mengeluarkan keputusan kontroversial.
Bola masih akan terus bergulir dan tak seorang pun tahu kemana arah dan dimana berhentinya. Sambil menunggu analisis Bang Fachry berikutnya, sebagai seorang yunior saya sudah merasa senang dan bahagia manakala ada komentar beliau pada status saya. “Kita sedih ya?”, “Tajam”, atau sekedar “Good” dan “Very Good”. Atau beliau minta konfirmasi atas sebuah status agar saya bisa menjelaskan konteksnya. Saat menulis status sengaja diniatkan sebagai kanalisasi rasa dan aspirasi, lalu beliau memberikan apresiasi, lebih dari cukup bagi saya.
Yang perlu disampaikan adalah jika berkunjung ke Yogyakarta, beliau tidak saja selalu berkabar tetapi mengajak “ngopi” dan berdiskusi. Beragam tema bisa didiskusikan hingga larut. Sudah senior tetapi tetap merendah dan mau “ngrengkuh” yang muda adalah karakter yang sangat melekat padanya. Semua terjadi tanpa jarak, egaliter dan beliau terlihat menjaga kohesi sosial betul. Sungguh sebuah keberuntungan bagi saya pribadi.
Tetap berdiri dengan prinsip dan akar intelektual, lalu menjaganya dalam bahasa yang rasional dan mudah dimengerti, menjadi karakter yang banyak disukai generasi di bawahnya. Bukankah semakin langka intelektual yang mau dan mampu menempatkan diri sebagai jembatan peradaban antargenerasi? Dalam konteks itulah, saya merasa bersyukur bisa kenal dekat dan–karenanya bisa–berguru pada beliau.
Selamat ulang tahun Bang Fachry Ali. Semoga dikaruniai panjang usia, penuh berkah dan peran-peran bermakna. AMIN
Ksatrian Sendaren, 23112023



