Ganjar Pranowo Pertaruhan Terakhir Marhenisme (3)

Oleh: Wahjudi Djaja*

Lagu yang saya dengar saat duduk di kelas IV SD ini tak pernah hilang dari ingatan. Sebuah lagu yang saya kira spontanitas ini memang legendaris untuk kami yang tinggal di Klaten sisi selatan yang kering, tandus dan karenanya miskin. Kelas kami berhamburan ke tepi jalan ketika dari kejauhan terdengar gemuruh suara kampanye Pemilu 1982. Dari truk yang penuh orang itu terdengar lagu ini:

Pring tumpuk-tumpuk
Bumbung wadhah legen
Lurahe manthuk-manthuk
Rakyate nyoblos bantheng

Lagu pendek, akrab di telinga kami yang biasa mencuri legen–legi atau manis dari nira–saat tukang deres menyadap kelapa berada di atas pohon. Jika anak kelas IV SD–di sebuah daerah yang menggantungkan sawah pada tadah udan–dengan cepat hapal lagu itu, bisa diduga bagaimana konstelasi politik lokal yang terbangun di wilayahnya. Jika lurah sampai mengangguk-anggukkan kepala, tentu sindiran saja mengingat upaya penguasa untuk mengkooptasi level pemerintah terbawah memang massif dilakukan, termasuk kebijakan massa mengambang dan Korpri adalah bagian penting Golkar. Klaten, kemudian tercatat sebagai daerah merah, hal yang memiliki akar sejarah yang panjang.

PDI (P) dan Marhenisme

Partai ini bersumbu nasionalis. Hasil fusi 1973 yang menggabungkan Partai Nasional Indonesia, Partai Murba, Partai IPKI, Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik Indonesia. Sebuah strategi politik Orde Baru untuk mewujudkan “Demokrasi Pancasila” yang dibingkai melalui stabilitas politik yang sehat dan dinamis. Golkar menjadi partai penguasa, sedang PPP dan PDI menjadi pelengkap. Meski begitu, jangan tanya soal fanatisme dan kecintaan rakyat–seperti di daerah kami–pada kepala banteng. Mendarah daging, seperti banyak ditunjukkan oleh tetangga rumah. Pejah gesang nderek Bung Karno! Bangga menjadi–dan mendaku–seorang marhen, wong cilik yang miskin.

Sampai KLB 1993 di Surabaya, Megawati naik ke panggung politik dan menjadi idola politik baru. Fenomena ini jelas mengkhawatirkan Soeharto yang dianggap potensial mengganggu kursi kekuasaannya. Megawati pun dipaksa turun dalam Kongres di Medan 1996 yang memuncak dengan meletusnya kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli). Pasca reformasi, Megawati mentransformasikan PDI menjadi PDI Perjuangan pada 15 Februari 1999, moncong putih.

Pelan tapi pasti PDIP mewarnai panggung politik nasional, menjadi kendaraan banyak orang, dan menjadi partai besar. Cukup aneh bahwa identitas partainya wong cilik tidak secara signifikan menemukan konteks sosiologis ekonomis. Sebagai anak biologis sekaligus ideologis, banyak kalangan memberikan pertanyaan peran Megawati dalam merealisasikan ideologi Marhenisme. Kabinet Gotong Royong yang dia bentuk (2001-2004) belum bisa berbuat banyak dalam hal ekonomi kerakyatan. Pada Pemilu 2004 Megawati-Hasyim kalah melawan SBY-JK, juga saat Megawati-Prabowo melawan SBY-Budiono dalam Pemilu 2009.

Ganjar Sebagai Alternatif Terakhir

Benar adanya adagium, tak ada kawan abadi dalam politik. Dua periode PDIP menopang kekuasaan Jokowi melalui Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, harus pecah kongsi setahun jelang Pemilu 2024. Ada yang tak terduga dalam politik, yakni kepentingan. Dan kepentingan pada kekuasaan selalu membuka jalan bagi kesinambungan, keberlanjutan, dan–kalau bisa–memperpanjang usia rezim selama mungkin. Kekuasaan itu candu, sebagaimana secara faktual dipertontonkan Orde Baru.

Megawati–sebagaimana dikatakan Anies Baswedan–merupakan penjaga demokrasi yang konsisten dan berani. Wacana memperpanjang jabatan presiden menjadi tiga periode, ditolak mentah-mentah. Megawati dihadapkan pada tiga kondisi: usianya sudah sepuh, Puan Maharani belum juga ramah di survei, meneruskan Jokowi adalah kesalahan. Perjanjian Batu Tulis yang coba diangkat kembali–sekedar menimbang Prabowo sebagai kandidat yang sudah bermain mata dengan Gibran Rakabuming, anak Jokowi–tak memperoleh sambutan dari kandang banteng. Pilihan jatuh pada Ganjar Pranowo.

Situasi rumit pun terjadi. Serba tak mengenakkan bagi yang mengalami. Jokowi seolah menjadi rebutan Prabowo dan Ganjar–dengan alasan dan pertimbangan tersendiri–untuk mendapatkan efek dan pengaruh kekuasaan. Catatan harus diberikan kepada Prabowo. Keras menyerang Jokowi saat Pilpres 2019, luluh dan banting stir saat dilantik menjadi Menhan. Beragam fakta kontradiktif pun terpapar dengan kasat mata. Di sisi lain, dalam perkembangannya, Ganjar masih mencoba meyakinkan publik bahwa Jokowi adalah petugas partai. Kondisi yang tak sepenuhnya “mengenakkan” Jokowi yang tak nyaman lagi berada di kandang banteng.

Semula publik masih menduga–termasuk analisis Denny Indrayana–naiknya Prabowo dan Ganjar adalah strategi Jokowi untuk sama-sama menghadapi Anies yang kian fenomenal. Entah untuk memecah kekuatan Islam politik, entah mereduksi politik identitas. Kian terbukti, keduanya rapuh secara konseptual, lemah secara gerakan. Polarisasi Prabowo vs Ganjar pun menguat, Jokowi kian kentara memberi dukungan pada Gibran, dan Anies yang meroket. Satu hal yang pasti, Golkar, PAN, PSI, sudah menggelar karpet merah untuk kehadiran Jokowi jika masih ingin berpolitik seusai 2024. Bahkan, Kaesang sudah menjadi nakoda PSI meski baru dua bulan bergabung. Terakhir, langkah Jokowi–yang tidak hadir dalam HUT PDIP–diikuti oleh Maruar Sirait yang keluar kandang banteng (15/1/2024).

To be or not to be, Ganjar adalah pilihan terakhir bagi PDIP. Terlihat canggung dan sedikit mendua saat debat capres pertama, Ganjar menjadi artikulatif dan menyerang pada debat capres kedua. Meski dengan sejumlah kendala, dia menjadi harapan untuk membangkitkan ideologi Sukarnoisme dan membumikan Marhenisme. Ini penting didiskusikan terkait PDIP pasca Megawati agar tidak semakin kehilangan ruh dan karakter perjuangan. Nama besar Bung Karno tak boleh diabaikan apalagi dilupakan begitu saja.

Sebagai anak ideologis–lama aktif di GMNI dan kader tulen Banteng–Ganjar memiliki peluang dengan sejumlah syarat. Lama menjadi anggota DPR RI, dua periode menjabat Gubernur Jateng, dan Ketua Umum Kagama, tak salah jika harapan disampirkan di pundaknya. Dia harus all out menunjukkan diri sebagai oposan dan antitesis Jokowi sekaligus men-declare sebagai Soekarnois sejati yang berani menghantam praktik neokolonialisme dan neoimperialisme dengan azimat Trisakti. Marhenisme dijadikan konsep alternatif yang mudah dipahami dan–dengan komitmen tinggi–direalisasikan mengingat arah dan kebijakan ekonomi Indonesia semakin jauh dari amanat pendiri bangsa. Tak mudah memang, tapi dia tak bisa sendiri. Mahfud MD juga harus bernyali merebut tema dan konstituen di luar koridor hukum yang menjadi kompetensinya.

Akhirnya, sebagai warga negara kita–tepatnya saya–hanya ingin melihat ketiga kandidat bisa secara autentik dan orisinil menyampaikan agenda nasional Indonesia lima tahun ke depan secara penuh etika, berbasis moral historis dan penuh kesopanan. Selalulah pertimbangkan, setiap black campaign hanyalah akan membuat luka dan mengusik luka lama. Bangsa ini, khususnya kaum marhen dan wong cilik, sudah cukup lama merasakan perihnya hidup.
Merdeka!

(Tamat)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co