Oleh: Wahjudi Djaja*
Perayaan tradisi Grebeg Syawalan Kraton Yogyakarta digelar Kamis (11/4/2024). Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, grebeg tahun ini diorientasikan untuk mengembalikan tradisi sesuai dengan perayaan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Gunungan tidak lagi diperebutkan rakyat (rayahan) tetapi dibagikan oleh prajurit.
Ada lima jenis gunungan yang diarak pada Grebeg Syawalan, yakni dua Gunungan Kakung, satu Gunungan Estri, satu Gunungan Gepak, satu Gunungan Darat, dan satu Gunungan Pawuhan. Prosesi bergerak dari Kraton Yogyakarta pukul 09.00 menuju Masjid Gedhe Kauman. Setelah didoakan, dikutip dari laman jogjaprov.go.id, pareden dibagikan kepada rakyat di halaman Masjid Gedhe, Pura Pakualaman, Kompleks Kepatihan dan Ndalem Mangkubumen. Yang terakhir merupakan penambahan baru.
Grebeg atau garebeg mempunyai makna diiringi atau diantar oleh banyak orang. Konteks historisnya, iring-iringan prajurit dan abdi dalem dalam membawa gunungan dari kraton menuju masjid Gedhe. Grebeg berawal dari tradisi Rajawedha, perayaan dimana raja membagikan sedekah kepada rakyat di wilayah kekuasaannya untuk mewujudkan kemakmuran. Dalam bahasa lain, grebeg bisa dimaknai sebagai peristiwa ketika raja membuka ruang kekuasaan agar rakyat bisa merasakan dampak kekuasaannya.
Raja, atau dalam konteks ini sultan, adalah seorang kalifatullah yaitu wali Tuhan di muka bumi (Sardiman AM, 1992). Hubungan yang terbangun antara raja dengan rakyat–yang biasa disebut Kawula Gusti–berbasis pada kepatuhan dan kesetiaan dalam bingkai mistis. Raja dipersonifikasikan sebagai agung binathara. Raja adalah pemilik semesta hingga muncul konsep hamangku bumi. Sebagai representasi Tuhan, raja memiliki sifat welas asih, berbudi bawa laksana, ambeg adil paramarta. Sedangkan rakyat atau kawula dengan kepatuhan yang ikhlas menerapkan sikap nderek karsa dalem, ikut keinginan raja.
Maka pemberian raja merupakan anugerah, bahkan jimat, yang harus disimpan dan dirawat atau dimanfaatkan dengan penuh rasa tanggung jawab. Paringan dalem atau kekancingan dalem, menjadi sebuah kehormatan dan kebanggaan, yang dalam keyakinan banyak orang dianggap berkah.
Dalam pemahaman demikian, kita memaknai tradisi Grebeg Syawal. Bahwa kesejahteraan atau keadilan itu didistribusikan oleh raja, bukan dijadikan rayahan atau rebutan. Lebih dari sekedar tradisi tahunan, grebeg memuat makna politik kekuasaan sebagaimana diteladankan dan dijalankan oleh Ngarsa Dalem IX yang menempatkan Tahta untuk Rakyat. Seluruh kebijakan kerajaan diorientasikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bisa dilihat bagaimana Sinuwun IX mendedikasikan kekayaan, kemampuan dan keahliannya tidak saja untuk rakyat tetapi juga bangsa dan negara Indonesia. Sejak Ibukota pindah ke Yogyakarta sampai menjabat wakil presiden, beliau tak pernah kehilangan momentum dan keberanian untuk berpihak dan memikirkan kehidupan rakyat. Sebutan Bangsawan Negarawan nampaknya hanya pas diterakan pada Gusti Dorodjatun. Bila kemudian tradisi grebeg dikembalikan esensinya seperti era HB VIII–ayah Gusti Dorodjatun–adalah sebuah langkah yang perlu diapresiasi. Bagaimanapun kraton adalah pusat peradaban Jawa terutama sejak Mataram hingga berdirinya Kasultanan Yogyakarta.
Dalam posisi sebagai pewaris Mataram sekaligus pusat kebudayaan Jawa, Kraton Yogyakarta mempunyai peran dan peluang terbesar dalam menjaga harmoni sekaligus mengawal perubahan sosial budaya. Masyarakat sebagai pengikut tentu akan dengan senang hati mengikuti arahan dan kebijakan kerajaan terkait adat dan tradisi. Yang kita tunggu adalah saat dimana perayaan tradisi grebeg diformulasikan dalam konteks kebijakan pembangunan. Bukan dalam pengertian trickle down effect seperti zaman Belanda tetapi terciptanya kemakmuran bersama secara adil dan merata.
Ksatrian Sendaren, 11 April 2024
*Budayawan Sleman, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



