Hardi, Kepergian Seorang Pelukis Revolusioner

Oleh: Wahjudi Djaja*

“Asyik, gerakan Anda sangat autentik”. Ini kalimat yang beliau sampaikan sebagai apresiasi atas laku langkahku dalam memberdayakan beragam potensi desa yang bertahun kujalani. Sebuah kalimat sederhana yang sangat membekas karena turut menjadi bara yang membakar perjuangan. Di satu sisi tak mudah menyadarkan dan menggerakkan masyarakat agar sadar potensi, di sisi lain raksasa wisata kian merangsek dan menjajah berbagai sudut desa.

Sosok yang dikenal keras tapi humanis, memegang teguh idealisme tetapi kadang harus menyesuaikan dengan dinamika pasar dimana karya seni lukis beliau harus diketahui publik dan terjual. Era 1990-an sering membaca opini beliau di berbagai koran–yang klipingnya masih kusimpan–tentang seni rupa sebagai sebuah gerakan, baru era 2000-an bisa bertatap muka langsung dan berdiskusi. Sosok yang hangat dan tak sungkan memberikan suport dan apresiasi untuk kaum muda.

Lahir di Blitar dengan nama R. Soehardi pada 26 Mei 1951, Hardi–demikian alumni ASRI Yogyakarta ini akrab disapa–dikenal pelukis ekspresionis. Pernah membuat penguasa Orde Baru merasa terganggu sehingga menangkap dan memenjarakannya pada 1978. Bayangkan, saat penguasa yang sedang kuat-kuatnya harus melihat sebuah lukisan dirinya mengenakan pakaian kebesaran militer lengkap dengan bintang dan tanda jasa. Lukisan bertajuk Presiden RI Tahun 2001 Suhardi itu akhirnya membuat geger.

Antara imaji dan magis bercampur politis menjadi satu dalam lukisan berukiran 60×30 itu. Membayangkan presiden alternatif era itu sebuah tabu, apalagi men-declare diri sebagai presiden. Cap makar dengan mudah dilekatkan yang kemudian diikuti dengan penangkapan oleh Laksusda Jaya, sebuah organ militer yang efektif membungkam lawan-lawan politik penguasa Orde Baru.

Pernah, pada 2 Oktober 2012 aku diajak Kangmas GM Sudarta–dedengkot kartun Indonesia–ke Jakarta. Kami berangkat dengan mobil dari Klaten ke Jakarta untuk mengikuti pembukaan Pameran Lukis “Slenco” di Bentara Budaya Jakarta. Beliau terkesima dengan karya Om Hardi yang melukis Jakob Oetama. Sebuah lukisan yang sangat besar untuk menggambarkan seorang tokoh besar. Cukup lama kami mengamati lukisan Hardi itu.

Ketika peristiwa itu kuabadikan lalu ku-upload di Facebook, Om Hardi sangat bahagia. “Wahhh nyimpen.potonyq…trimqkasih mas. Oo iya. Pmrn ultah pak jakob. mas GM memang senior senirupa.beliau sdh wafat.ndak tahu sepeninggal pak jakob nanti.semoga kompas tetep.kokoh“. Sengaja saya tulis apa adanya bagaimana cara beliau memberi komentar di beranda saya tahun 2012.

Pada 2018 saat beliau ulang tahun, saya buatkan puisi. Sebuah puisi nama yang sangat beliau senangi sehingga tiap ulang tahun beliau share ulang dengan pengantar, “Puisi sahabat Wahjudi Djaja untuk saya”. Berikut puisinya:

KP Hardi Danuwijoyo:

Kisah seorang pelukis
Penuh laku dan sarat daya magis

Hiasi nurani dengan jiwa seni
Agar negeri jauh dari manipulasi
Rajut kebenaran meski diancam hukuman
Demokrasi dalam seni tak boleh dikhianati
Inginkan karya lebih dari sekedar rupa warna

Dedikasi tiada ciut nyali
Atur warna berlandas jiwa merdeka
Nikmati peran diantara lika liku kekuasaan
Ubah citra dengan goresan penuh makna
Wajah-wajah sejarah menempel begitu indah
Inspirasi kreasi seolah tiada henti
Jalan perjuangan ditapaki penuh keyakinan
Olah rasa susun warna hadirlah mahakarya
Yakini kompetensi tak kan pernah mati
Obati kerinduan akan akar kepribadian

Diskusi dan komunikasi kami agak intens saat kami sama-sama berada di barisan Bang Nasir Tamara yang mengetuai Persatuan Penulis Indonesia (Satupena). Saat HUT I Satupena dilaksanakan Rakernas di Jakarta 13-14 Mei 2018, dilakukan lelang 3 lukisan KP Hardi Danuwijoyo. Om Hardi bangga dan bahagia saat itu sehingga membagikan buku karyanya yang berjudul Art, Politics, Humanism. Sebuah buku yang menjadi cetak biru dan garis pemikiran seorang Hardi tentang hidup dan posisinya dalam kebudayaan.

Terkait Satupena perlu mendapat catatan tersendiri. Sejarah baru dalam dunia kepenulisan di tanah air saat digelar Kongres Persatuan Penulis Indonesia pada 26-29 April 2017. Dalam pemilihan yang sangat demokratis Dr. Nasir Tamara terpilih jadi Ketum Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) periode 2017-2021. Unggul 67:40 suara dari Imelda Akmal. Kandidat lain Mike Susanto mundur saat penyampaian visi dan misi.

Dalam dinamika Satupena Hardi relatif mewarnai organisasi. Kadang keras berpendapat, lalu saat didebat atau kurang berkenan, left dari WAG. Lain waktu masuk lagi dengan pemikiran yang meledak-ledak, khas seorang demonstran atau revolusioner yang pernah memimpin Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Jiwa demokrat Nasir Tamara nampaknya tak hanya mampu meredam heroisme Hardi tetapi juga mengendalikan Satupena dalam berkiprah. Secara manajerial mumpuni, produktifitas terjaga, network terberdayakan, dan kolaborasi menjadi keniscayaan.

Hardi telah pergi. Kamis pagi 28 Desember 2023, sosok dengan pengaruh yang luas dan beragam itu menghembuskan napas yang terakhir kalinya. Bukan hanya Satupena yang merasa kehilangan, tetapi juga kalangan pelukis, budayawan, dan insan yang menempatkan kemanusiaan sebagai standar peradaban. Hardi adalah manusia pembebas yang bernyali dan bernas. Seorang revolusioner telah pergi, seorang pejuang kemanusiaan telah kembali ke pangkuan Illahi. Semoga damai di keabadian, aamiin

Ksatrian Sendaren, 28 Desember 2023
*Anggota Satupena

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co