Oleh: Wahjudi Djaja*
Andai dia tidak mengangkat senjata dan memimpin perang terbesar yang dihadapi Belanda di luar Eropa, bisa jadi lain cerita Indonesia modern. Karena Java Oorlog–Perang Jawa–yang berlangsung 1825 sampai 1830, negara Belanda nyaris bangkrut. Cultuur stelsel yang diterapkan Van den Bosch pada 1830 dijadikan strategi pemulihan perekonomian Belanda tidak saja berhasil mengisi tetapi juga menutup kasnya. Inilah era eksploitatif paling brutal dalam sejarah perekonomian Hindia Belanda hingga melahirkan kritik dari kaum humanis dan mendorong diterapkannya politik etis.
Namun sejarah tak mengenal pengandaian. Ia sudah terjadi–sebagai sebuah event–dan kita baca kembali sebagai sebuah cerita atau kenangan. Pada momen penting tertentu, seperti haul ke-169 yang jatuh 8 Januari 2024 dalam hitungan kalender Masehi, apinya menjadi inspirasi, “dan bara kagum menjadi api”, tulis Chairil Anwar dalam puisi Diponegoro.
Dari Mustahar Sampai Ratu Adil
Lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785, Bendara Raden Mas Mustahar seolah diciptakan menjadi seoreng ksatria pembuka sejarah. Dia lahir jelang fajar pada bulan Sura, bulan pembuka dalam tradisi Jawa. Weton-nya Jumat Wage, biasanya memiliki watak sekali mempunyai pendirian akan keras bertahan. Tetapi juga jujur, berkepribadian halus, murah hati dan suka menolong atau berkorban untuk sesama.
Permata hati Sri Sultan Hamengku Buwono III dan RA Mangkarawati ini sejak lahir dihadapkan pada pilihan hidup yang mendorongnya belajar mengambil sikap tegas. Tak mau dirajakan dan memilih tinggal bersama buyut putrinya–Permaisuri HB I–di Puri Tegalrejo. Ketajaman batin dan olah kanuragan diasah di puri ini, juga di Mlangi (dikenal sebagai masjid pathok negara di wilayah Sleman). Sementara itu di depan mata, Belanda dan Inggris beradu strategi untuk menguasai Yogyakarta.

RM Mustahar–kemudian bernama RM Ontowiryo dan Pangeran Diponegoro–baru masuk kembali lingkungan Keraton Yogyakarta pada 1822 saat Sri Sultan Hamengku Buwono V yang masih belia naik tahta. Kondisi yang tak sepenuhnya dia kehendaki mengingat peranan Patih Dunurejo IV dan Residen Belanda yang terlalu dominan mengendalikan keraton, menginjak-injak tradisi dan mengeksploitasi rakyat.
Pada 20 Juli 1825 Belanda mengirim pasukan bersama para begundal-nya untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Puri Tegalrejo diserbu dan dibakar, Pangeran bersama keluarganya bisa meloloskan diri ke arah barat melewati kawasan Mlangi, Dekso, hingga singgah di Gua Selarong. Dimulailah Perang Jawa yang monumental, baik dari segi cakupan wilayah peperangan, jumlah korban dan kerugian serta strategi yang digunakan. Sebuah peperangan yang menyisakan banyak kisah kepahlawanan dan jejak perjuangan. Pangeran Diponegoro dikenal sebagai Ratu Adil Tanah Jawa. Perang dan pengkhianatan datang silih berganti, sampai tahun 1830 saat Pangeran Diponegoro dijebak Jenderal De Kock di Magelang. Ksatria ini kemudian dibawa ke Salatiga, Semarang, Batavia, Menado dan Makassar.
Aktor (Sekaligus) Penulis Sejarah
Tak terbayang bagaimana kisah hidup dan perjuangan Pangeran Diponegoro bisa dibaca dan dipelajari seandainya dia tidak dengan penuh kesadaran menuliskan sendiri kisah day to day yang dijalani: Babad Diponegoro. Kisah hidup dalam ujud tembang macapat ditulis selama di Fort Rotterdam–yang kemudian diakui Unesco sebagai Memory of The World–menceritakan detail siapa Pangeran Diponegoro sampai dipanggil kembali Sang Khalik pada 8 Januari 1855.

Belanda bangkrut. Jawa seolah porak poranda. Johannes Van den Bosch ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1830-1833). Dalam waktu singkat diterapkanlah sistem tanam paksa. Sistem ini tercatat memberi sumbangan yang sangat besar bagi kolonialisme hingga memakmurkan Belanda. Jawa tak ubah seperti de kurk waarop Java dreef, gabus tempat Belanda mengapung. Tanah jajahan adalah sapi perah. Kemiskinan adalah konsekuensi logis bagi kelompok yang lemah.
Eksploitasi berlebihan–pada akhirnya–mendorong munculnya perasaan empati sebagian pemikir Belanda. Dalam pidato inagurasinya pada 1901 Ratu Wilhelmina menerapkan politik etis dengan mempertimbangkan tanggung jawab moral dan een eerschuld (utang budi) pada kehidupan rakyat pribumi di tanah jajahan. Cultur stelsel (1830-1915) dilikuidasi dan diganti dengan politik etis. Van Deventer menerjemahkan ke dalam tiga program yakni irigasi, imigrasi dan edukasi. Inilah jalan–tak langsung–bagi lahirnya kaum intelektual yang berdiri di garda depan kebangkitan nasional.
Mahaguru Sejarah UGM Sartono Kartodirdjo menyebut, pendidikan adalah dinamit bagi sistem kolonial. Benar adanya. Bangsawan baru telah lahir dengan visi baru: menghadang praktik kolonialisme dengan memperkuat jatidiri. Perang bukan strategi yang pas untuk menghadapi Belanda. Pendidikan dan kesadaran menjadi kunci utama yang digerakkan melalui organisasi. Lahirlah Generasi 1908 dan 1928–dua bongkah nasionalis yang berjasa membuat bingkai keindonesiaan–hingga mencapai klimaks pada 1945.
Perang Jawa tak pernah padam. Baranya masih menyala di dada banyak anak muda yang paham untuk apa negara ini didirikan. Pangeran Diponegoro adalah pembuka pintu sejarah Indonesia. Damai bahagialah di keabadian, Sang Pangeran!
Ksatrian Sendaren, 8 Januari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



