Hari Jadi ke-269 Daerah Istimewa Yogyakarta, Meletakkan Sejarah Sebagai Arah

Oleh: Wahjudi Djaja*

Hari Jadi DIY ditetapkan pada 13 Maret 1755 atau Kemis Pon tanggal 29 Jumadil’awal tahun Be 1680. Hal itu berdasarkan Perda DIY Nomor 2 Tahun 2024. Sebulan sebelumnya, 12 Februari 1755, ditandatangani Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta.

Menarik apa yang disampaikan Gubernur DIY saat Sidang Paripurna DPRD DIY (13/3/2024). “Tanggal 13 Maret 1755 sekaligus menjadi momentum, dimana untuk pertama kalinya digunakan nama Ayodhya, yang kemudian dilafalkan menjadi Ngayodhya dan Ngayogya. Dari kata inilah kemudian dijadikan nama Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berarti tempat yang baik dan sejahtera yang menjadi suri tauladan keindahan alam semesta” (www.dprd-diy.go.id).

Kesadaran sejarah untuk memaknai sebuah momentum tentu sangat bijak dan penting. Apalagi telah didahului oleh serangkaian riset dan penelitian dari orang-orang yang berkompeten. Nilai yang hendak diangkat adalah pembebasan diri dari keterkungkungan kolonialisme sekaligus meneguhkan ikatan tradisi untuk menggapai tujuan hidup bersama. Ini jauh lebih strategis dan visioner.

Bersama Sugito juru kunci gunung Gamping

Sekedar catatan, pada 11 Desember 1749 Pangeran Mangkubumi telah diwisuda oleh para pengikutnya sebagai Susuhunan Kabonaran dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Menarik bahwa beliau kemudian memilih Ambarketawang sebagai pesanggrahan. (Pesanggrahan, sanggraha berarti berkumpul, perjamuan, dan perlindungan; Ambarketawang berarti tempat tinggi, tawang, yang semerbak harum, ambar, ngambar arum artinya harum). Berdasar petunjuk yang diperoleh Rangga Prawirasentika di Gunung Lawu–untuk mencari tempat di barat yang berkapur–ditemukanlah Ambarketawang. Di sinilah Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan ibukota Ayodyokarta Hadiningrat (Tashadi dkk, 2000).

Ada peristiwa menarik dimana etika kekeluargaan dijunjung tinggi. Pangeran Mangkubumi konsultasi kepada kakak sulungnya, RM Sandiyo, seorang ahli agama yang kemudian menetap di Mlangi dan mengganti namanya menjadi Kyai Nur Iman. Beliau merelakan adiknya untuk menduduki tahta menjadi Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah I.

Lanskap Ambarketawang diabadikan dalam sebuah tembang Mijil:
Kali Nanga pancingkoing puri
Gunung Gamping Kulon
Ardi Merapi lor wetan prenahe
Candi Prambanan mangongkang margi
Pleret tilas nagari
Girilaya kidul

Hampir setahun Pangeran Mangkubumi berdiam di Ambarketawang sambil mempersiapkan pembangunan keraton di Pacethokan. Pada 7 Oktober 1756 Pangeran Mangkubumi “boyongan” dari Pesanggrahan Ambarketawang ke Kraton Ngayogyakarta dan menjalankan pemerintahannya dari kraton yang baru dengan bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Tanggal 7 Oktober 1756 dijadikan hari jadi kota Yogyakarta.

Penulis di kompleks makam Kotagede

Perjalanan sejarah yang tak singkat untuk sebuah kerajaan. Mataram yang semula didirikan Panembahan Senopati di Kotagede, akhirnya kembali ke Yogyakarta melalui peran Pangeran Mangkubumi. Kini, sejarah berada di tangan kita. Pantas tidak kita menyandang gelar sebagai Wangsa Mataram?

Dirgahayu DIY. Damai jayalah selalu.

Ksatrian Sendaren, 13 Maret 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co