Hari Pusaka Dunia 2024: Melacak Jejak Merajut yang Terserak

Oleh: Wahjudi Djaja*

International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) menetapkan tanggal 18 April sebagai Hari Monumen dan Situs Dunia. Badan dunia UNESCO kemudian menjadikannya World Heritage Day atau Hari Pusaka Dunia pada 1983.

Upaya untuk menyelamatkan dan melestarikan situs dan jejak arkeologis bukanlah hal yang mudah. Kesadaran warga masyarakat belum terbangun secara mapan dan benar. Sementara itu, derap laju pembangunan tak jarang menyasar beragam situs dan peninggalan sejarah arkeologis. Di sisi lain, edukasi tentang situs belum sepenuhnya menjadi perhatian bersama. Terbukti masih terdengar jual beli benda bersejarah di berbagai daerah.

Dalam kondisi seperti itu, bukan hal aneh apabila jejak, situs dan beragam khazanah budaya menjadi rusak. Mempertahankan situs yang ada saja bukan hal mudah apalagi merekonstruksi dan membangun kembali. Selain memerlukan biaya yang tidak sedikit, juga waktu yang lama. Butuh ketekunan dan kesabaran untuk bisa melihat kembali jejak peradaban silam.

Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan dan melestarikan situs purbakala dan warisan sejarah.

1. Libatkan Komunitas

Banyak komunitas purbakala yang memiliki kepedulian tinggi pada warisan leluhur bangsa. Komunitas Kandang Kebo, misalnya, bisa dijadikan pola keterlibatan pihak ketiga dalam menyelamatkan situs dan benda arkeologis. Mereka secara sukarela–istilah yang dipakai blusukan–mendatangi tempat yang diduga ada atau menyimpan jejak arkeologis. Bisa dilakukan secara mandiri anggota komunitas maupun melibatkan masyarakat yang memberikan informasi.

Blusukan Komunitas Kandang Kebo (Foto: Wahjudi Djaja)

Kolaborasi menjadi keniscayaan mengingat blusukan melibatkan lokasi dan kepentingan masyarakat. Sejauh ini mereka mampu bersinergi satu sama lain untuk sama-sama menjaga dan merawat situs, apapun bentuk dan jenisnya. Yang menarik dari langkah mereka adalah menghadirkan pakar di bidangnya untuk mendiskusikan di basecamp. Lebih dari sebuah edukasi langkah mereka sesungguhnya menandakan tingginya kecintaan dan komitmen pada warisan leluhur.

2. Inisiasi Upacara Adat

Langkah ini sering ditempuh Lembaga Kebudayaan Jawa (LKJ) Sekar Pangawikan. Mereka sering diminta oleh masyarakat untuk “membersihkan” energi negatif atau jahat. Upacara yang kemudian muncul adalah memetri atau merti. Melalui serangkaian kirab budaya, mereka membacakan puja doa mantra, lengkap dengan kidung dan geguritan. Beberapa candi seperti Gedong Sanga, Pringapus, Plaosan Lor atau mata air (sendang) dan situs lainnya pernah menggelar upacara memetri.

Memetri Candi Pringapus oleh LKJ Sekar Pangawikan (Foto: Wahjudi Djaja)

Mereka pun secara sukarela mendatangi lokasi situs dan mengadakan upacara. Tujuannya antara lain mengharap keselamatan, kelestarian dan peningkatan manfaat atas keberadaan situs. Apa yang mereka lakukan adalah bagian dari mekanisme budaya. Tentu ada reaksi dari masyarakat tetapi kebanyakan mendukung langkah LKJ Sekar Pangawikan. Apalagi kemudian laku budaya mereka berdimensi pariwisata.

3. Basis Pemberdayaan Masyarakat

Keberadaan situs atau jejak merupakan modal budaya yang berharga. Orang menyebutnya sebagai pancer. Saat desa berniat menggerakkan potensinya, mengangkat tema sejarah bisa dijadikan rujukan. Harapannya agar pembangunan yang digerakkan tetap berlandaskan kepribadian budaya.

Ruwahan Agung Kiai Wirajamba (Foto: Wahjudi Djaja)

Dalam konteks masyarakat Jawa dikenal bulan Ruwah. Orang berziarah untuk menemukan benang merah dalam membangun desanya. Menarik jika di desa tersebut ada makam kuna atau yang dianggap pendiri desa. Maka digelarkan Ruwahan Agung atau Sadranan Agung yang diikuti dengan serangkaian gelar potensi budaya. Jika sejarah adalah inspirasi maka Ruwahan atau Sadranan adalah momentum penting yang tak bisa ditinggalkan.

Selain ketiga cara di atas, upaya untuk menyelamatkan dan melestarikan warisan pusaka dunia tentu bisa dilakukan Dinas Kebudayaan dan Balai Pelestarian Kebudayaan. Keduanya merupakan institusi resmi negara yang berkompeten dalam merawat, memelihara, mengelola dan mengembangkan pusaka dunia. Kedua lembaga bisa memfasilitasi beragam gerakan kebudayaan terkait keberadaan situs dan pusaka dunia.

Banyak hal bisa dikerjakan untuk menyelamatkan dan melestarikan pusaka dunia. Selain menyangkut situs, monumen, warisan budaya (tangible dan intangible) juga cultural landscape (pusaka saujana). Ini jelas memerlukan komitmen, kerjasama dan ketekunan. Kegiatannya pun bisa beraneka warna mulai lomba, festival, diskusi, penyusunan narasi sampai sekedar kunjungan dan kampanye.

Hidup memang bergerak maju, tetapi kita tak pernah bisa meninggalkan masa lalu. Itulah kenapa kita disarankan belajar dari kisah terdahulu.

*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co