Oleh: Wahjudi Djaja
Dua hari dengan dua peristiwa sejarah yang tak sempat saya tulis. Kondisi badan kebetulan sedang tidak fit. Pada 14 Desember diperingati sebagai Hari Sejarah, sebuah momen penting dalam perjalanan historiografi sejarah Indonesia. Pada 15 Desember diperingati sebagai Hari Juang Kartika, momen yang menentukan eksistensi ketentaraan kita.
Pada 14-18 Desember 1957 sejumlah ahli sejarah menggelar Kongres Sejarah Indonesia di Yogyakarta. Sebuah gerakan penuh kesadaran untuk menghadirkan sejarah yang–tidak saja autentik dan kredibel bagi nation building tetapi juga–meneguhkan identitas kebangsaan. Selama masa penjajahan, bangsa ini dicekoki dengan narasi buku sejarah yang menjauhkan anak-anak bangsa dari kemungkinan dekat dengan para pahlawannya. Bagaimana tidak. Para pahlawan yang gugur dalam perjuangan melawan kolonial ditulis sebagai pemberontak!
Itu baru dari salah satu sudut. Di sudut yang lain, pendekatan historiografi yang berlandaskan neerlando sentris menyebabkan peran rakyat tak memperoleh ruang dalam sejarah nasional. Itulah sebabnya, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tanggal 13 Maret 1957 No. 28201/5 tentang pelaksanaan Seminar Sejarah Nasional I. Indonesiasentris harus menjadi rujukan dan pendekatan dalam historiografi nasional sebagai antitesis dari historiografi kolonial dan tradisional sekaligus. Inilah fase awal dimulainya proyek kolosal penulisan Sejarah Nasional Indonesia.
Pada 15 Desember 1945, meletus Pertempuran Ambarawa. Kolonel Soedirman belum lama dipilih menjadi Panglima TKR. Pada 12 November 1945, guru Muhammadiyah asal Banyumas ini dipilih oleh para laskar menjadi Panglima Besar. Sedangkan veteran KNIL Oerip Soemohardjo dipilih menjadi Kepala Staf TKR. Inilah Dwitunggal TKR yang legendaris. Dan inilah satu-satunya yang terjadi di dunia, seorang panglima tentara dipilih oleh sidang laskar rakyat dan bukan oleh penguasa.
Tak sampai dua bulan, Soedirman harus membuktikan kalibernya. Memimpin TKR menghadang Belanda di Ambarawa. Radio Belanda sempat mencemooh, bisa apa guru sekolah yang kerempeng itu. Sejarah kemudian mencatat, Soedirman menerapkan strategi supit urang. Menjepit musuh dari dua sisi di depan lalu memukul dari belakang. Belanda kocar-kacir dan mundur ke Semarang.
Sejarah dimaknai dalam dua pengertian di atas. Sebagai sebuah teks, ia bisa ditulis ulang oleh siapapun tak harus sejarawan. Kata kunci ada pada sumber yang darinya sejarawan menemukan fakta sejarah. Sebagai sebuah event (peristiwa, kejadian) sejarah hanya sekali terjadi dan tak bisa diulang atau terulang lagi. Kedua pengertian akan bertemu saat kita mengangkat pewarisan pengalaman.
Entah apa jadinya kalau sebuah bangsa tak pernah mau–secara sungguh-sungguh–belajar dari sejarah. Nilai kejuangan dan falsafah dasar akan hilang dan dilupakan yang pada gilirannya identitas nasional pun tak ada jejak. Betapa mengerikan jika ini terjadi: sebuah bangsa amnesia dengan kekayaan alam dan budaya di dalamnya akan menjadi jajahan negara lain.
Semoga kita masih bisa dan mau merawat sejarah kita. Tak mudah selagi kita terjebak pada materialisme. Pancasila adalah muasal dimana kita bisa kembali menghangatkan kohesi sosial dan kultural kita. Konon, di situlah letak ruh bangsa tersimpan dengan baranya.
Ksatrian Sendaren, 16 Desember 2023
*Ketua Umum Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (KASAGAMA)



