Oleh: Wahjudi Djaja*
Mendung menggantung di atas dunia kecendekiawanan Indonesia. Seorang profesor–dalam sebuah debat calon presiden–diolok-olok oleh anak kemarin sore. Seolah mengkonfirmasi rendahnya penghormatan kalangan intelektual di mata para penguasa. Menyusul, seorang cendekiawan berkaliber–Ignas Kleden–pulang dipanggil Yang Maha Kuasa pada Senin (22/1/2024). Duka yang benar-benar duka.
Cendekiawan Bermata Elang
Selepas menanggalkan baju kebesaran seorang Romo Katholik, Kleden terbang ke Jakarta. Dia dibekali ilmu dan pemahaman yang luas oleh ayahnya. Perjalanan intelektual yang dijalani kemudian mengantarkannya meraih gelar MA pada 1982 dari Universitas Muchen Jerman dalam bidang Ilmu Filsafat. Doktor Sosiologi diraih dari Universitas Bielefeld pada 1985. Tak tanggung-tanggung, Kleden menghantam langsung dedengkot antropologi Clifford Geertz dalam disertasinya.
Dalam wawancara dengan Kompas (23/4/1995) Kleden secara terbatas menjelaskan posisinya terkait penelitian dan pemikiran Geertz yang disebutnya “involusi ala Geertz lebih merupakan hasil dari interpretasi yang dibuatnya”.
Disertasi saya bagi menjadi tiga bagian. Pertama, saya berusaha menunjukkan dan membuktikan bahwa dalam semua penelitian, Geertz tidak berbuat lain daripada menerapkan tesis involusi. Hal ini perlu saya lakukan, karena Geertz tidak pernah mengatakan demikian. Kedua, saya meninjau secara kritis apakah involusi dalam bidang-bidang tersebut bisa dipertahankan atau tidak kalau dibandingkan dengan data sekunder lain tentang sektor yang sama. Ketiga, kalau memang ada involusi dalam berbagai sektor yang yang diteliti di Indonesia, apakah hal itu lebih merupakan persoalan empiris atau hermeunitik, yaitu persoalan data yang mencukupi atau tidak, atau malah persoalan interpretasi sesuai atau tidak. Ini persoalan objek penelitian atau persoalan peneliti, persoalan Indonesia atau persoalan Geertz sendiri?
Pada bagian lain Kleden mengatakan, Geertz hanya menunjuk adanya involusi pertanian dan tidak sekalipun berbicara tentang involusi dalam bidang lain.
Dalam studi saya menjadi jelas bahwa yang ditunjuk Geertz dalam penelitiannya sekurang-kurangnya tujuh sektor di Indonesia tahun 50-60an itu tak lain dari involusi atau proses dimana terjadi perubahan sosial terputus di tengah jalan. Ketujuh sektor itu meliputi pertanian, perdagangan kecil (pretty trade), aliran, perkotaan, agama, politik klasik (the theater state) serta hubungan antara negara bangsa dan etnisitas.
Seolah tak ingin membebek para peneliti dan ilmuwan luar, Kleden kerja keras betul untuk meng-counter simpulan Geertz yang sering menjadi rujukan para peneliti Indonesia. Puluhan publikasi ilmiah memang telah dibuat terkait studi Geertz. Namun, Kleden memilih terbang dalam perspektif lain dan cakrawala yang lebih luas. Sayang bahwa pemikiran brilian Kleden belum banyak dieksplorasi sebagai sebuah teks ilmu pengetahuan.
Cakrawala Pengetahuan
Membaca tulisan Kleden di berbagai media sejak era 1990–saat saya masuk kuliah–sampai menjelang kepergiannya seolah melayari cakrawala yang luas dan damai. Kleden secara tepat memposisikan diri dimana harus terbang tinggi, dimana harus diam meneliti, dimana dia harus menggunakan tajam paruhnya. Beragam tulisan baik artikel maupun buku ditulis dengan sangat mempertimbangkan kualitas keilmuan.
Peran cendekiawan, sastrawan, budayawan, sosiolog atau ilmuwan sosial hanyalah tebing-tebing cadas yang sempat disinggahinya. Dalam rentang panjang peran itu, Kleden tak pernah–sependek pengetahuan saya–terjebak di rawa-rawa politik praktis. Posisi yang kini digugat oleh sejumlah kalangan terkait relasi cendekiawan dan penguasa. Dia tak beranjak jauh dari meneliti dan menulis.
Dalam artikel “Skripsi, Teks, Menulis, dan Meneliti (Kompas, 13/4/1996) Kleden menguraikan posisi dan peran menulis dalam kebudayaan.
Salah satu ciri kebudayaan modern yang ditandai oleh ilmu pengetahuan ialah bahwa tulisan-tulisan yang tadinya dikuasai oleh kalangan yang berhubungan dengan seremoni dan ritual, kemudian didesakralisasikan sebagai hal profan dan umum yang bisa dikuasai oleh siapa saja yang sanggup dan mau mempergunskannya sebagai alat, sebagai teknologi. Atau, dengan lain perkataan, tulisan sebagai teks yang terbatas dalam lingkungan eksklusif, didemokratisasikan sebagai tulis-menulis berupa kepandaian umum yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.
Demikianlah. Terlalu jauh dan luas cakrawala yang ditempuh Ignas Kleden dalam menekuni dunianya, hal yang terlalu sulit bagi saya untuk bisa meyelami dan memahami. Hanya sebuah keberuntungan–yang direncanakan–bahwa saya memiliki hobi membuat kliping sejak dini sehingga setidaknya bisa membaca dan kini mengenangnya.
Selamat jalan Cendekiawan Bermata Elang. Terbanglah dengan penuh kedamaian ke Pemilik Singgasana yang Tertinggi bersama doa-doa kami, generasi yang belum selesai membacamu. Semoga bahagia abadi selamanya.
Ksatrian Sendaren, 22 Januari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



