Oleh: Landung Simatupang*
Yang saya tuliskan ini bukan sejarah Teater Gadjah Mada; jauh, sangat jauh dari itu. Ini sekadar cuil-cuilan ingatan saya, sangat mungkin ada melesetnya, yang berpautan dengan Teater Gadjah Mada, grup teater mahasiswa di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tepatnya, kelompok teater mahasiswa yang “resmi milik UGM” sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Meski demikian, kehidupan dan perkembangan Teater Gadjah Mada (TGM) tidak bertitik awal sebagai UKM. Perlu beberapa lama, sekitar 1-2 tahun, barangkali lebih, sebelum TGM sampai ke status tersebut.
Pada awalnya, Teater Gadjah Mada merupakan kumpulan segelintir mahasiswa UGM berbagai fakultas yang secara reguler melakukan latihan-latihan dasar keaktoran di kampus UGM. Kumpulan ini dimotori Suharyoso Sk., mahasiswa Fakultas Geografi. Itu terjadi selepas tahun 1972. Pada tahun itu Dewan Mahasiswa UGM memproduksi pergelaran drama Prabu dan Puteri karya Mh. Rustandi Kartakusuma dalam penyutradaraan Mochtar Pabottingi mahasiswa senior di Fakultas Sastra & Kebudayaan (Sasdaya). Para pelakon berasal dari pelbagai fakultas di UGM. Rektor UGM kala itu, Drs. Suroso, MA., menggarisbawahi pentingnya sebuah universitas menjadi universum yang sebenar-benarnya, merobohkan sekat-sekat antarfakultas dalam hal pemanfaatan sarana dan pelaksanaan kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler. Pergelaran drama dalam kerangka dies natalis UGM itu dilaksanakan di Gedung Batik PPBI, Jalan Yudonegaran (sekarang: Jalan Ibu Ruswo), dan terbuka untuk umum. Tiketnya dijual, dipromosikan antara lain lewat radio. Kala itu masa awalnya kurun radio swasta, non-RRI.
Berselang beberapa waktu dengan pergelaran di atas, Suharyoso Sk. yang, seperti saya, ikut bermain dalam pergelaran lakon Mh. Rustandi Kartakusuma itu, mengajak saya meneruskan kegiatan berteater di kampus. Ia juga mengajak kawan-kawan lain. Ketika itu Suharyoso dan saya sudah mengikuti kegiatan grup teater yang berbeda di luar kampus. Saya ikut bergabung ke Sthemka, yang kemudian menjadi Teater Stemka ketika saya dipercaya memimpin grup yang berdiri sekitar tahun 1966 itu. Bersama Suharyoso Sk., saya juga bergabung dalam latihan-latihan serta pergelaran Teater Mandiri Yogyakarta. Demikian pula Suprapto Budi Santosa, mahasiswa Teknik Sipil, dan Yuwono mahasiswa Psikologi waktu itu.
Nama-nama itulah, seingat saya, yang mengawal kemunculan Teater Gadjah Mada sebagai kelompok kegiatan teater mahasiswa. Tentu, saya perlu minta maaf jika saya khilaf tidak menyebut nama-nama yang semestinya disebut. Sekali lagi, di sini saya sekadar menuliskan ingatan saya seputar Teater Gadjah Mada. Nama-nama lain di masa formatif Teater Gadjah Mada meliputi Mirkoen Awali, St. Sukirno, Lambang Babar Purnomo (almarhum), Muncar, Sardjono, Gede Umbaran, Wachid (almarhum), Dewi Yulia, Denny Sutoyo, Tris Susilowati, dan Nining Sulasdi. Ada pula kontribusi Oka Agung Sanjaya, mahasiswa Sospol (kini FISIP) jurusan Hubungan Internasional dan juga pegiat Teater Mandiri Yogya.
Di antara produksi-produksi pementasan yang awal-awal dari Teater Gadjah Mada, masih saya ingat “Dap-dap” (yang kemudian menjadi “Aduh”, karya Putu Wijaya). Mulai tahun 1976/77, lakon ini dipergelarkan berkali-kali di Yogya dan kota-kota lain seperti Kediri dan Pekalongan. Sutradaranya Suharyoso Sk. Ia juga menyutradarai pergelaran lakon karyanya sendiri, “Waswas”. Di samping menggarap pergelaran lakon, Suharyoso juga bereksperimen dengan apa yang disebutnya “teater peristiwa” yang melibatkan sejumlah pemain yang berinteraksi dengan ekspresi nonverbal. Pergelaran semacam itu pernah disajikan secara spektakuler di ruang terbuka dalam kompleks Gelanggang Mahasiswa Bulak Sumur.
Meskipun Suharyoso Sk adalah motor Teater Gadjah Mada kurun awal, tidak berarti hanya dan selalu dia yang berperan selaku sutradara pementasan. Suprapto Budi Santosa pun tampil dengan karya penyutradaraan lakon full-length play yaitu Maha Prabu yang disadurnya sendiri dari karya Eugene Ionesco “Exit the King”. Selain itu ia menyadur lakon Anton Chekhov “Pinangan” (“The Proposal”), yang sukses ditayangkan sebagai sandiwara televisi di TVRI Yogyakarta. Suprapto Budi menyutradarainya sekaligus bermain sebagai peran utama berduet dengan Nining Sulasdi (sekarang: Nining Supratmanto). Saya juga mendapat kesempatan menyutradarai pergelaran lakon impor “Monserrat” di Yogyakarta dan Taman Budaya Jawa Timur, di Jl. Genteng Kali, Surabaya.
TGM juga menggelar lakon-lakon pendek di kampus maupun luar kampus UGM. Suharyoso Sk. pintar menjalin hubungan dengan pihak-pihak luar kampus yang kemudian mengundang Teater Gadjah Mada melawat untuk berpentas. Terkadang dirangkai dengan diskusi. Lawatan Teater Gadjah Mada di kurun awalnya meliputi kota-kota tujuan antara lain Malang, Bandung, Jakarta, Semarang dan Salatiga. Patut dicatat, di kurun awal ini sistem kredit (SKS) belum berlaku dalam kegiatan belajar di perguruan tinggi Indonesia. Dari satu sisi, ini memberikan keleluasaan kepada para mahasiwa untuk “kendur di ruang kuliah, kenceng di gelanggang mahasiswa”. Prestasi TGM yang awal adalah menjuarai lomba teater mahasiwa dalam rangka Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) di Jakarta. Saya lupa tahun berapa itu. Dan menyabet predikat terbaik untuk bidang-bidang tertentu misalnya keaktoran dan penyutradaraan.
Di lingkup “Jogja tahun 70an”, Teater Gadjah Mada terlibat cukup aktif dalam komunitas “arisan teater” yang diprakarsai oleh Azwar AN (Teater Alam). Kelompok-kelompok teater lain yang terlibat misalnya Teater Dipo, Teater Kantzil, dan Teater Perunggu selain Teater Alam sendiri. Pementasan dilakukan di kampung-kampung, di luar gedung kesenian/pertemuan formal. Kegiatan “arisan teater” ini berlangsung semarak sekitar dua atau tiga tahun, antara pertengahan hingga akhir 1970an.
***
Keanggotaan sebuah grup teater mahasiswa seperti TGM tentulah cukup cair. Para anggota datang dan pergi sejalan dengan ketamatan studi mereka. Tak hanya para anggota biasa, para perintis pun demikian. Meski begitu, alumni dari angkatan-angkatan berbeda yang berdomisili di Yogyakarta dan masih menaruh perhatian pada TGM acapkali menjenguk ke Gelanggang Mahasiswa, ikut memberikan berbagai bentuk kontribusi bagi penyusunan dan pelaksanaan program Teater Gadjah Mada. Sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa, Teater Gadjah Mada mengenal tatanan dan aturan main tertentu yang berkait dengan kepengurusan dan program. Menempuh empat puluh tahun, kira-kira, sampai tahun 2015 ini entah sudah berapa puluh kali terjadi pergantian pengurus selaras dengan aturan yang berlaku.
Setelah tamat kuliah, ada masanya saya cukup intens menemani Teater Gadjah Mada. Saya menerjemah naskah dan menyutradarai pementasan Sri Ratu/Ratu dan Pemberontak/Mawar Di Bawah Sepatu (Ugo Betti, Italia) di Yogya, Solo, dan Denpasar. Saya lupa tahun berapa itu. (Mohon dimaklumi tulisan ini saya buat di Palembang sebagai tanggapan pada suatu permintaan, di sela kegiatan saya menjadi juri pada Lomba & Festival Seni Siswa Nasional. Jadi saya tak bisa membongkar-bongkar arsip pribadi dan album foto yang sebetulnya akan dapat membantu ingatan). Sembari menemani mereka, saya diam-diam merekam bagaimana Teater Gadjah Mada cenderung menjadi semacam “keluarga kedua” bagi anggota-anggotanya, terutama mereka yang berstatus perantau di kota Yogya. Tak heran jika kemudian ikatan pertemanan, persahabatan, persaudaraan antara alumni Teater Gadjah Mada, terutama yang seangkatan, sejauh ini cukup terpelihara. Bahkan pernah terjadi alumni Teater Gadjah Mada dari angkatan-angkatan awal, didukung oleh yang lebih muda, berhasil berhimpun dan mementaskan Macbett, Sihir Tahta yang saya terjemah dari versi bahasa Inggris lakon karya Ionesco, Macbett. Itu terjadi tahun 1995, kalau tak keliru.
Meskipun ada masanya TGM terkesan lebih sibuk ke dalam sehingga gaungnya kurang terdengar di luar, ada pula masa ketika nama TGM terdengar lantang. Di tahun 2000an, Heru Sambawa dan Gati Andoko mengawal TGM untuk berjaya secara begitu dominan di festival dan lomba-lomba teater mahasiswa tingkat nasional. Pergelaran-pergelaran lawatan mereka pun memperoleh sambutan hangat dan apresiasi tinggi.
*Pemeran, Sutradara, Pendiri Teater Gadjah Mada



