Oleh: Wahjudi Djaja*
Indonesia mencatatkan diri sebagai negara yang banyak memberikan andil dalam perjalanan peradaban dunia. Setelah Wayang (2008), Keris (2008), Batik (2009), Pendidikan dan Pelatihan Membatik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken (2012), Tiga Genre Tari Bali (2015), Kapal Pinisi (2017), Tradisi Pencak Silat (2019), Pantun (2020), dan Gamelan (2021), pada 2023 tercatat sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) UNESCO.
Sidang ke-18 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Kasane, Republik Botswana, pada 6 Desember 2023 pukul 16.30 WIB, memasukkan Budaya Sehat Jamu (Jamu Wellness Culture) ke dalam Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity UNESCO (laman resmi kemdikbud.go.id).
Dalam sambutannya Mendikbudristek Nadiem Makarim menyampaikan penetapan ini akan memperkuat upaya Indonesia untuk melindungi dan mengembangkan jamu sebagai warisan budaya, serta berkontribusi terhadap kesehatan dan kesejahteraan global.
Sedangkan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Faried menjelaskan, jamu memiliki akar sejarah yang panjang di Nusantara dan merupakan salah satu warisan ilmu pengetahuan dari nenek moyang bangsa Indonesia yang sudah disebutkan dalam relief, primbon, prasasti, dan kitab-kitab lama Nusantara.
Salah satu sentra jamu berada di Dusun Gesikan, Merdikorejo, Tempel, Sleman, DIY. Dusun ini sejak 2018 ditetapkan sebagai sentra jamu gendong. Setidaknya ada 30 orang yang menggeluti industri rumah tangga pembuatan jamu gendong. Pernah dikunjungi Menparekraf Sandiaga Uno pada awal 2022, dusun ini menyimpan tradisi luhur bangsa.
Lebih dari sekedar minuman, jamu memiliki narasi dan fungsi yang lengkap. Kemampuan untuk meramu jamu didasari pemahaman dan penguasaan yang mendalam tentang khazanah flora di Indonesia. Nenek moyang kita memikiki kecerdasan untuk memikih akar, kulit, pohon, buah, daun yang cocok untuk memenuhi kebutuhan tubuh manusia. Selama ini kita terpaku seolah hanya ramuan Cina atau ginseng Korea yang bisa dijadikan jamu.
Hampir semua suku bangsa di Nusantara memiliki kemampuan memilah dan memilih tumbuh-tumbuhan yang memiliki khasiat untuk badan dan dijadikan obat. Itulah sebabnya, antropolog Koentjaraningrat, memasukkan kecerdasan itu sebagai salah satu unsur kebudayaan.
Jamu bukan hanya minuman berkhasiat yang dijajakan perempuan berkebaya yang keluar masuk desa sambil membawa sepeda. Jamu adalah gaya hidup higienis yang telah ada sejak zaman kuna. Jika kita mengamati secara serius, itulah bukti betapa peradaban bangsa ini telah melambung tinggi. Suatu bangsa yang mempunyai kepekaan dan kemampuan untuk bersenyawa dengan alam semesta.
Jamu kini mengglobal, bisa dikemas menjadi sajian berkelas di hotel berbintang maupun cukup diteguk melalui gelas di tepi pematang sawah. Dalam konteks pariwisata, jamu bisa dijadikan welcome drink bagi wisatawan yang berkunjung ke desa wisata. Bisa disajikan di segala acara, waktu dan kegiatan, tergantung permintaan.
Pengakuan UNESCO mestinya menyadarkan kita untuk mengidentifikasi kembali keahlian para leluhur dalam meramu jamu lalu didokumentasikan sebagai narasi sejarah lokal. Ini sangat penting mengingat generasi muda nyaris tidak lagi akrab dengan tradisi jamu. Ini perlu menjadi gerakan agar khazanah masa lalu tidak hilang begitu saja sampai–kemudian–kita teriak-teriak saat negara lain mendaku produk budaya kita sebagai milik mereka. Jika perlu, jamu harus masuk kurikulum pendidikan, juga produk budaya lain, agar transformasi pengetahuan bisa diwariskan.
“Mu…jamu, jamune…Mas”. Nah, ingat lagu itu? Mari biasakan minum jamu agar badan kuat, nalar sehat, dan paham sejarah dengan smart.
Ksatrian Sendaren, 7 Desember 2023
*Anggota Badan Promosi Pariwisata Sleman (BPPS), Peraih Anugerah Kebudayaan Sleman 2023



