Oleh: Masduki*
Catatan kecil atas gebrakan Rektor UII dan FGD Menegakkan Integritas Akademik di tengah Tsunami Pelanggaran Akademik (Academic Misconduct), Rabu, 17 Juli 2024
Kemaren, Sabtu 20 Juli 2024 harian Kompas halaman 15 memuat ’two-cents’ tanggapan kecil saya terhadap gebrakan orisinal dari bos
dan kolega saya Mas Prof Fathul Wahid, Rektor UII yang pekan ini viral di berbagai situs berita internet dan media sosial. Pagi ini sambil joging di Kaliurang, saya mengisi live talk singkat Elshinta Radio Jakarta, topiknya sama.
Gebrakan Rektor sangat relevan di tengah ambisi sejumlah pejabat publik untuk menjadi
Profesor dan tindakan pelanggaran akademis berjamaah para akademisi di berbagai PTN/PTS untuk mencapai jabatan ini (seperti pada berita investigasi majalah Tempo pekan ini).
Kepada Kompas saya sampaikan, bahwa apa yang diutarakan dan ditunjukkan (melalui surat berisi instruksi kebijakan kelembagaan) oleh Fathul Wahid merupakan sebuah perlawanan (resistensi) kultural (dari Yogya) atas ritualisasi, feodalisasi dan sakralisasi jabatan fungsional guru besar yang hegemonik.
Jabatan fungsional guru besar kini adalah tujuan hidup para politisi/pejabat, bukan lagi efek dari suatu rekam jejak akademik yang panjang dan genuine. Guru Besar dianggap gelar, status sosial, diksi yang menggambarkan pemiliknya sebagai priyayi, dalam rangka memacu mobilitas vertikal kekuasaan. Ini yang mau dilawan. Pasti akan ada ‘perlawanan balik’ termasuk dari para guru besar yang lain.
Aslinya, guru besar adalah jabatan fungsional yang ‘tentative’ secara ruang (hanya berlaku di dalam kampus) dan waktu (berlaku saat
pemiliknya berstatus dosen). Profesor adalah guru kecil yang tugasnya besar, mandatnya paripurna, bukan untuk gaya gayaan. Belajar dari pengalaman sebagai mahasiswa S3 di Jerman (2015-2020), penyebutan guru besar hanya ada di dokumen resmi, sedangkan dalam pergaulan sehari-hari di kampus, para profesor yang aktif mengajar saling menyapa dengan hanya menyebut nama depan/belakang masing masing. Hal serupa juga terjadi antara mereka dengan mahasiswa/i.
Di Indonesia, banyak sekali guru besar yang tak menoleh dan atau emosi jika tidak disapa dengan kata Prof. Mereka merasa kehilangan kehormatan diri. Dalam artikel opini di Kompas 22 Desember 2023 “Guru Besar dan Krisis Keteladanan”, saya menyebut tiga kategori Profesor: professor cepat saji dan abal abal; profesor ‘politisasi’; dan profesor dengan pencapaian akademik yang paripurna. Para GB yang emosi karena tak dipanggil Prof patut diduga masuk kategori pertama dan kedua.
Untuk ini, kita perlu mendukung pernyataan Asosiasi Professor Indonesia (API) meski saya bukan anggota lembaga ini, bahwa pemerintah perlu mencabut ketentuan pemberian gelar Guru Besar kehormatan oleh PTN/PTS. Sebab para penerimanya tidak melewati rute karir akademik yang normal, tapi instant. Gelar ini cenderung ditransaksikan, sehingga merusak marwah akademik di kampus.
Menolak dipanggil Prof adalah perlawanan simbolik, gerakan senyap yang sekaligus menguji integritas akademik. Seorang guru besar hanya bernilai sosial dan akademik karena integritas yang terus terjaga dan
kinerja akademik yang terus diupayakan. Jabatan akademik ini menjadi hampa dan kering jika hanya tertulis di kartu nama, disebutkan di forum seremonial, atau menjadi status dalam grup WhatsApp.
Menjadi Guru Besar sejatinya adalah sebuah apresiasi atas pencapaian akademik yang
konsisten dalam lebih dari 10-15 tahun, bukan kerja instant dengan memanipulasi dokumen kinerja apalagi melibatkan ghost writer dalam menulis artikel di jurnal internasional. Agak janggal, jika tetiba birokrat atau politisi yang nyaris sepanjang hidupnya di lembaga pemerintah/struktur politik menjadi guru besar.
Menarik dicatat, gagasan dan gebrakan Prof Fathul antara lain sudah ia sampaikan pada FGD bertajuk Menegakkan Integritas Akademik di tengah Tsunami Pelanggaran Akademik, yang dihelat UII bersama The Conversation Indonesia, Rabu 17 Juli 2024. Forum ini nantinya akan menyampaikan policy brief pola karir dosen kepada pemerintahan baru.
Saya terhormat turut hadir menjadi fasilitator dan penggembira. Forum ini menghadirkan puluhan guru besar, aktivis sosial dan akademisi beragam kampus di Yogyakarta,
merespon tindakan pelanggaran akademis oleh ratusan insan kampus dan intervensi politik oleh para birokrat-politisi nasional. Akan ada dua FGD lanjutan di dua kota berbeda di bulan depan: Jakarta dan Malang.
Baiklah, mengamplifikasi Mas Rektor UII, sejak awal mendapat amanah sebagai professor (1 Oktober 2023) dan seterusnya, mohon kiranya saya jangan dipanggil Prof (di kampus apalagi di luar kampus). Di buku terbaru yang diterbitkan Kompas bulan Juni 2024, saya menulis Masduki sebagai penulis, tanpa kata Prof. Pola ini lazim dilakukan oleh penerbit di dunia (terutama di luar Indonesia). Sebab kata Prof dalam cover buku kerapkali hanya marketing gimmick, kemasan, bukan substansi. Ia merefleksikan mental feodal.
Sebelum ini, gagasan bahwa tidak perlu dipanggil Prof sudah saya tulis di kolom Opini Kompas, edisi 22 Desember 2023: ada baiknya seorang profesor tidak perlu disapa Prof secara berlebihan di ruang publik. Ada konteks waktu dan ruang yang pas untuk itu. Nah, alasannya jelas bukan semata soal desakralisasi atau de-feodalisasi, tetapi ini soal sikap asketis, sikap profesional.
Salam waras, Kaliurang Yogyakarta



