Oleh: Wahjudi Djaja*
Salah satu kesalahan pemerintah kolonial Belanda terkait upaya membatasi pergerakan nasional adalah dengan mengasingkan para tokohnya. Niatnya menjauhkan tokoh dari rakyat, yang terjadi justru sebaliknya. Ide pergerakan malah meluas.
Perantauan Intelektual dan Perjuangan
Perjuangan Mohammad Hatta (lahir di Bukit Tinggi, 12 Agustus 1902) terbayang saat selama seminggu pada akhir Oktober 2018 saya bersama berbagai teman Perhimpunan Sastrawan Budayawan Negara Serumpun (PSBNS) mengadakan lawatan sastra ke Bandaneira Maluku. Hatta bersama Sjahrir, Iwa dan Tjipto diasingkan Belanda pada Januari 1936. Bukannya sedih menempuh perjalanan jauh mengarungi lautan, mereka malah gembira. Mereka tersenyum geli melihat Hatta tergopoh-gopoh membawa 16 koper berisi buku yang dikumpulkan sejak kuliah di negeri Belanda. Masing-masing tokoh hadir dengan hobi dan kebiasaan yang lucu.

Ratusan anak-anak Bandaneira masih memegang kebanggaan pernah disinggahi dan dididik oleh generasi pertama negeri ini. Juga para keluarga termasuk Des Alwi yang pernah dekat dengan keluarga Hatta. Sampai sekarang kami masih berkomunikasi dengan mereka melalui berbagai platform digital sekedar menjaga benang merah sejarah.
Lebih jauh sebelum dikenal sebagai salah satu proklamator, Mohammad Hatta adalah seorang pemikir yang disiplin dan serius. Suara serak sendu berpadu kesedihan Iwan Fals membawakan lagu tentang Bung Hatta. Rasa kehilangan begitu terasa mengingat beragam idenya belum sempat dilaksanakan secara benar dan konsisten. Bahkan bukan hanya tokoh, dia adalah peletak fondasi nasionalisme Indonesia. Bersama para mahasiswa Indonesia di Belanda, dia pada 1925 mengeluarkan manifesto politik.
Dalam beragam kesempatan dan tulisan, Mahaguru Sejarah UGM Sartono Kartodirdjo, menyampakan Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia (PI) 1925 jauh lebih strategis dibandingkan Sumpah Pemuda 1928. Ada tiga elemen penting manifesto, yakni kesatuan nasional, solidaritas, non kooperasi, dan swadaya. (Skripsi FS UGM 1996, Bahasa dan Nasionalisme).
Formulasi yang disusun PI itulah yang kemudian mempermudah peta dan jalan pergerakan nasional untuk menemukan identitas bersama. Secara tidak langsung, para mahasiswa PI telah menyiapkan sistem politik alternatif bagi sistem politik kolonial. Nasionalisme yang dirancang pun mulai menemukan bentuk. Ide PI itulah yang kemudian mendorong beragam organisasi kepemudaan menggelar kerapatan di Jakarta untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda 1928.
Pergerakan nasional mengalami akselerasi pada masa pendudukan Jepang dan mencapai klimaks saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Soekarno-Hatta dibentuk oleh sejarah untuk saling mengisi dan melengkapi. Bahkan Bung Karno tak mau membacakan teks proklamasi selama Bung Hatta tak berada di sampingnya. Kombinasi politisi negarawan yang saling melengkapi, solidarity maker dan administrator ulung. Belanda dan Jepang gagal dalam meredam sepak terjang keduanya.
Kisah Klasik Dwitunggal
Saat ibukota pindah ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946 dan dimulainya kisah klasik revolusi kemerdekaan, Hatta mengendalikan politik pemerintahan dengan disiplin. Hatta dan keluarga tinggal di Istana Ngupasan–kini Makorem 072 Pamungkas–sedangkan Bung Karno dan keluarga tinggal di Istana Gedung Agung. Keduanya ditopang Sri Sultan Hamengku Buwono IX lengkap anggaran pemerintahan sampai 1949 saat harus kembali ke Jakarta pasca penyerahan kedaulatan.

Masa-masa revolusi kemerdekaan adalah potret terbaik bagaimana pemimpin dan rakyat berada dalam hentakan jiwa yang sama. Bersama Soedirman, Sjafrudin Prawiranegara dan para pemimpin bangsa, Hatta tak pernah kehilangan peran dan momentum kenegaraan. Saat dimana ucapan para pemimpin dipatuhi rakyat dengan tulus penuh keikhlasan.
Perbedaan prinsip soal politik pemerintahan dan kalkulasi di dalamnya menyebabkan tanggalnya dwitunggal pada 1 Desember 1956. Bagi Hatta, “Sejarah dwitunggal dalam politik Indonesia tamat setelah UUD 1950 menetapkan sistem kabibet parlementer“. Bung Karno menguat dengan sistem demokrasi terpimpin bersama PKI, hal yang telah lama diingatkan Bung Hatta. Baginya, demokrasi terpimpin itu tujuannya baik, tetapi cara dan langkahnya justru menjauhkan dari tujuan yang baik itu.
Kekhawatiran Bung Hatta pada sahabat perjuangannya itu pun terbukti, meletus prahara politik pada 30 September 1965. Orde Baru lahir di bawah kendali Jenderal Soeharto. Keinginan Bung Karno untuk melihat Monas yang terakhir pun tak kesampaian karena harus menjalani tahanan rumah.
RSPAD Gatot Subroto, 19 Juni 1970. Dua hari sebelum Bung Karno wafat, Bung Hatta dan Wangsa Widjaya (Sespri Bung Hatta), Tjokropranolo (Sekmil Presiden Suharto), Meutia Hatta dan Gemala Hatta ke kamar Bung Karno. Ada sesuatu yang menyesakkan dada. Hatta mendekati Bung Karno dan berkata pelan penuh kesedihan:
“Bagaimana kabarmu, No?”
“Hoe gaat het met Jou?”
Kata Bung Karno dalam bahasa Belanda dengan nada pelan. Kedua pendiri bangsa itu saling berpandangan tanpa berkata sepatah pun. Ketika kepentingan politik tak bisa toleran pada rasa kemanusiaan, air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.
Dalam kesaksian putrinya Gemala Hatta kepada penulis, mereka bercakap dalam bahasa Belanda. Tetapi singkat dan kesadaran Bung Karno cepat hilang. Lalu sadar lagi. “Ayah pegang pergelangan tangan Bung Karno. Lalu Bung Karno minta kaca mata supaya bisa memandang ayah. Bung Karno pun mengeluarkan air mata. Saya dan kakak serta Pak Wangsa diam tertegun. Mata Bung Karno tiba-tiba memutih. Saya jadi kaget. Lalu Bung Karno hilang kedadaran. Beberapa menit siuman lagi. Ayah menanti tidak beranjak sambil berdiri. Akhirnya, melihat kondisi Bung Karno begitu ayah pun akhirnya pamit dan berbicara bahasa Belanda supaya Bung Karno lekas sembuh. Terlihat wajah Bung Karno sedih dan berlinang air mata tanpa bicara lagi”.
Itulah perbincangan terakhir Bung Hatta dan Bung Karno. Keesokan harinya, orator itu pergi selamanya. Hatta bersaksi tentang teman seperjuangannya, “Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini“.

Hari ini, 14 Maret 44 tahun silam, Bung Hatta pergi. Mungkin dia bertemua Bung Karno dan para sahabat setianya yang kukuh memegang idealisme perjuangan. Ada pesannya dalam Bung Hatta Menjawab, “Sekarang nampak gejala-gejala neofeodalisme yang terbentuk dari kelompok-kelompok ekonomi, kepentingan-kepentingan atau ke-famili-an lainnya. Feodalisme lama sering kita benci, karena banyak sekali diperalat oleh para penjajah. Tetapi seburuk-buruk feodalisme lama itu sedikit banyaknya ia tahu akan kewajibannya kepada masyarakat. Tetapi neofeodalisme ini hanya melihat kepada haknya dan bukan kepada tanggung jawabnya terhadap masyarakat“.
Entah berapa abad lagi bangsa ini akan bisa melahirkan dwitunggal seperti mereka, atau tidak sama sekali.
Tuhan terlalu cepat semua
Kau panggil satu satunya yang tersisa
Proklamator tercinta
Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia
(Iwan Fals, Bung Hatta)
Ksatrian Sendaren, 14 Maret 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



