Karya Ini Siapa yang Tulis?

Oleh: Fachry Ali*

Ada beberapa kali saya membimbing mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Salah satu yang saya ingat adalah pertanyaan yang saya ajukan kepada mahasiswa pasca sarjana tersebut. Bunyinya begini:
“Bagian ini siapa yang tulis?”
Sang mahasiswa menjawab: “Saya”.

Saya sedikit naik pitam, karena beberapa paragraf di dalam karyanya itu terlalu bagus. Tidak sesuai dengan bagian-bagian sebelumnya yang saya baca. Maka, saya berkata:
“Saya ini peneliti dan penulis. Saya kenal mana tulisanmu yang asli dan mana yang kamu ambil begitu saja”.

Akhirnya dia mengaku bahwa paragraf-paragraf yang saya tanyakan itu berasal dari terjemahan disertasi Rizal Mallarangeng —yang diterbitkan Gramedia.

Saya katakan kepadanya tentang kejujuran akademik. “Apa lagi kamu seorang dosen”, kata saya. “Jika kamu begitu”, lanjut saya, “bagaimana jadinya para mahasiswa yang kamu bimbing? Bagaimana nasib generasi Indonesia kelak jika para dosen punya kecenderungan seperti kamu?”

Tetapi, itu baru soal ‘kecil’. Soal ‘besar’-nya adalah perspektif teoretikal. Saya sampai memberikan kopi pengantar yang saya tulis untuk biografi pengusaha Arifin Panigoro untuk dijadikan model. Sebab, tokoh pengusaha yang dia studi tidak dilengkapi alat penjelasan yang menghubungkan eksistensi subjek dengan lingkungan di luar dunia bisnis. Setelah berkali-kali saya revisi, akhirnya mahasiswa ini saya anggap berhasil menjabarkan perspektif teoretikal yang saya maksud.

Saya memang sedikit serius membimbingnya, termasuk memberikan sekedar ongkos transportasi. Pertama, adalah karena hanya dengan kelulusan studi itu yang akan menyelamatkan karirnya sebagai pengajar. Kedua, saya berharap pesan kejujuran akademik dan usaha mencerdaskan mahasiswanya kelak bisa terlaksana.

Status ini saya buat setelah terjadi polemik tentang ujian doktoral Menteri ESDM Bahlil hari-hari ini. Saya hadir dalam acara ujian itu. Bagi saya, ujian tersebut —betapapun digawangi kaum akademisi ternama— lebih terlihat sebagai ‘political event’ daripada ‘academic event’. Sebuah negosiasi dan kompromi antara otoritas akademik dengan otoritas politik.

Dan ini hanya menggambarkan lapisan atas dari gunung salju. Sebab, selama 5 tahun terakhir ini kita menyaksikan betapa lemahnya dunia kampus dalam relasi otoritas akademik-otoritas politik. Dan tidak sedikit para alumni perguruan tinggi dengan ekspresif dan demonstratif memberikan dukungan kepada salah satu calon presiden lima tahun yang lalu.

Maka, di dalam percakapan konten Youtobe Zulvan Lindan beberapa tahun lalu saya ungkapkan bagaimana kampus memble ketika KPK dilemahkan oleh seluruh partai-partai politik parlemen. Dan dalam konten saya sendiri, “Kolom Fachry Ali”, saya usulkan usaha kolektif seluruh fakultas hukum di Indonesia membincangkan implikasi konstitusional atas hasil sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengurangan umur calon presiden dan wakil presiden

Dengan pergantian pemerintahan dua hari mendatang, kampus secara teoretis punya peluang memperbaiki posisi otoritas akademiknya. Jadikanlah perubahan pemerintahan ini sebagai masa dialog intelektual antara kampus dan pemerintah.

*Peneliti dan penulis senior


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co