Mabur.co
Ada yang menarik dari pesan Sri Sultan Hamengku Buwana X saat dialog dengan kepala OPD se-DIY (Kedaulatan Rakyat, 29/4/2023, Penggunaan Danais Wajib Ada Rekam Jejak yang Jelas). Beliau memesankan tiga hal penting, yakni integrasi OPD untuk menangani program yang ada, pembangunan kebudayaan harus berdimensi ekonomi, dan adanya rekam jejak untuk menghindari duplikasi program.
DIY memiliki garis pantai sepanjang 113 km, yang terbentang pada di kawasan Kuntul Gunung yaitu, Kulon Progo (25 km), Bantul (17 km) dan Gunung Kidul (71 km). Adalah ironis jika di kawasan yang luas dengan potensi yang beragam itu masyarakat pesisir justru jatuh dalam kemiskinan.
Laporan BPS per September 2022 bahwa kemiskinan di DIY mencapai 11, 49 % atau sekitar 463.630 penduduk miskin yang merupakan tertinggi di pulau Jawa sangat mengagetkan kita semua. Wajar jika kemudian Ngarsa Dalem hendak meninjau ulang pendekatan pembangunan kebudayaan terkait penggunaan danais.
Menurut Wahjudi Djaja, S.S., M.Pd (Pokja Ketahanan Ekonomi Badan Kesbanhpol DIY, pembangunan berorientasi agraris yang pernah menjadi model dalam menggerakkan potensi bangsa direvisi dengan menempatkan laut sebagai masa depan.
“Ini tercermin dari Visi Gubernur DIY dari Among Tani ke Dagang Layar dan Abad Samudera Hindia menuju kemuliaan masyarakat Jogja. Konsekuensi logis dari perubahan pendekatan pembangunan ini adalah ditempatkannya kawasan pesisir sebagai fokus pembangunan”, jelasnya kepada Mabur.co.
Sesuai UU No 27 Tahun 2007, pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan pemerintah dengan pemerintah daerah, antarpemerintah daerah, antarsektor, antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, antara ekosistem darat dan ekosistem laut, serta antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.
Salah satu sektor pembangunan yang potensial digerakkan untuk memberdayakan potensi pantai selatan sekaligus mengentaskan masyarakat dari kemiskinan menurutnya adalah pariwisata. “Membuka investasi untuk membangun destinasi memang tidak dilarang, tetapi membiarkan Pokdarwis mengelola sendiri kawasan pantai tentu bukan langkah bijak. Harus ada keberanian pemerintah kabupaten untuk menginisiasi destinasi baru berskala besar dengan melibatkan Bumdes dengan dukungan UMKM dan masyarakat sebagai subjek”, paparnya.
Desa dengan potensi maritim yang lengkap, imbuhnya, sering tak berani membuat grand design sebuah kawasan yang terpadu dan cenderung membiarkan spontanitas warganya. “Ini terjadi karena beban anggaran yang mungkin akan dikeluarkan melalui dana desa”, tandasnya.
Jika alternatifnya adalah membangun wisata bahari yang di dalamnya menyajikan beragam potensi, sarannya, maka Dinas Kelautan dan Perikanan harus menggandeng Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan, Dinas Koperasi UMK, Dinas PUPRKP dan perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta.
“Sudah saatnya integrasi, kolaborasi dan sinergi tidak lagi berhenti sebagai wacana yang didiskusikan di meja birokrasi. Visi Gubernur (2022-2027) harus segera dibumikan dengan pendekatan kontekstual yang pas”, pungkasnya.
(Jay)



