Di dunia pariwisata dikenal pendekatan sustainable tourism. Sebuah cara untuk menjaga keseimbangan alam, manusia dan budaya melalui upaya konservasi dan perlindungan. Dalam mencari keuntungan, usaha pariwisata tak boleh menggerus apalagi merusak ekosistem agar masa depan tetap memberikan harapan.
Di sela-sela benchmarking ke Bali, Selasa (6/2/2024), para mahasiswa STIE Pariwisata API Yogyakarta melakukan kunjungan ke hutan pohon Pala di Desa Sangeh, Abiansemal, Badung, Bali. Pala dalam istilah Sansekerta kata ‘pala’ artinya melindungi, sedangkan kata ‘phala’ artinya buah. Dilihat dari jenis pohonnya identik dengan pohon kruing, tinggi dan rimbun yang pas sebagai pelindung. Di dalam hutan pala itu terdapat Pura Pucak Bukit Sari.
Menurut penuturan pemandu yang setia dan ramah menemani mahasiswa, pura ini dibangun Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, anak angkat Raja Mengwi, Tjokorda Sakti Blambangan sekitar abad XVII. Uniknya, di dalam hutan pala ini banyak dihuni kera jinak. Di taman wisata seluas 40 ha ini masih dijumpai pohon pala yang besar dan tinggi berusia 350 tahun. Selain sebagai konservasi, taman ini menjadi tempat penelitian dan pengembangan.

Sementara itu dosen STIE Pariwisata API Yogyakarta, Wahjudi Djaja MPd, berpendapat bahwa pola pengelolaan taman tersebut menarik untuk dijadikan contoh. “Basis utama pengelolaan wisata konservasi di Bali adalah Tri Hita Karana. Tiga kosmos yang berpusat pada parahyangan (dengan Tuhan), pawongan (sesama manusia), dan palemahan (alam semesta). Hubungan timbal balik ketiga kosmos itu menjadi kunci harmoni semesta. Kami di Yogyakarta membahasakannya dengan hamamayu hayuning buwana, sebuah cara mencintai, merawat, dan melestarikan alam”, tandas budayawan Sleman ini.
Menarik apabila, lanjutnya, desa wisata dan desa budaya yang akan dan sedang tumbuh pengelolaannya didasarkan pada local wisdom. “Ajak masyarakat untuk terlibat dan jadikan mereka sebagai subjek pengembangan agar mau merawat dan meningkatkan pendapatan ekonominya. Ini perlu studi serius karena usaha pariwisata harus mempertimbangkan banyak segi dan tak boleh terburu-buru agar tidak merusak alam. STIE Pariwisata API Yogyakarta membuka diri terkait itu”, jelas Pokja Ketahanan Ekonomi Badan Kesbangpol DIY ini.
Salah seorang mahasiswa STIE Pariwisata API Yogyakarta, Muhammad Aziz, saat dimintai kesannya oleh mabur.co menyampaikan, sangat terkesan dengan kondisi dan kepedulian para pemandu Sangeh. “Hutan Sangeh sangat terjaga, bersih dari sampah. Tiap sudut diberi bak sampah. Pemandunya ramah dan peduli pada wisatawan. Ada monyet yang melompat ke teman saya, kemudian didatangi pemandu dan menanyakan kalau ada yang sakit”, papar mahasiswa angkatan 2021 ini.
(*)



