Kearifan Lokal dalam Peribahasa Nusantara*
Oleh: Iman Budhi Santosa**
Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki beragam nilai kearifan lokal yang bersumber pada adat budaya suku-suku bangsa yang bermukim di Nusantara. Jauh di masa lalu sebelum budaya tulis berkembang, ide-ide kearifan lokal lazim diwujudkan dalam bentuk peribahasa atau aforisme menggunakan tuturan lisan sesuai bahasa daerah masing-masing.
Di Indonesia, peribahasa sering juga disebut ‘kata mutiara’. Dalam pengertian umum, yang disebut peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang susunannya tetap untuk mengungkapkan pernyataan tertentu. Konstruksi kalimatnya pun dibuat singkat, padat, puitis, agar memiliki daya tarik sehingga mudah dihapal dan diingat oleh masyarakatnya. Sedangkan isinya adalah perumpamaan, perbandingan, nasihat, prinsip hidup, aturan tingkah laku (baik yang dipujikan atau dilarang) dalam adat tradisi setempat.
Dalam sejarahnya, peribahasa lahir dan digali dari simpul-simpul pandangan hidup yang bersumber pada agama, kepercayaan, mitos, religi, falsafah, serta ajaran para cerdik pandai/pujangga/wali/raja/datu di masa lalu yang terbukti ampuh menjadi pedoman hidup masyarakat setempat.
Mengingat di Indonesia terdapat tidak kurang dari 1.340 suku bangsa dan 748 ragam bahasa daerah, maka bukan mustahil jika di sana tersimpan ribuan peribahasa yang menjadi pedoman hidup masyarakat lokal di masa lalu. Dengan berpedoman pada nilai dan tata kehidupan seperti tercermin dalam peribahasa mereka, ditambah nilai-nilai baru yang menjadi acuan hidup dan kepercayaannya, ternyata suku-suku bangsa di Indonesia berhasil mendirikan NKRI, kemudian menjaga dan melestarikannya hingga kini.
Walaupun modernitas di Indonesia telah merambah ke berbagai sektor kehidupan, dan berbagai nilai baru juga bertebaran, banyak nilai kearifan lokal sebagaimana termaktub dalam peribahasa daerah yang masih mengejawantah dalam sikap perilaku bangsa ini ketika menjalani kehidupan sosial maupun individual. Seperti nilai kegotongroyongan, kemanusiaan, religiusitas, moral, akhlak, budi pekerti, dan lain-lain. Dengan demikian, dapat dikatakan peran peribahasa Nusantara sebagai pembentuk watak masyarakat Indonesia bukannya kecil. Bahkan, harus diakui nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa daerahlah yang pada awalnya membangun pondasi kepribadian bangsa ini.
Maka, walaupun ada sebagian peribahasa yang ditinjau dari konteks zaman, pesan muatannya tidak relevan lagi diterapkan pada hidup kekinian, namun peribahasa-peribahasa daerah tersebut tetap relevan dijadikan referensi maupun bahan perbandingan terhadap nilai dan perilaku masyarakat serta individu yang berkembang hari ini. Lebih menarik lagi manakala peribahasa daerah dijadikan bahan edukasi bagi generasi muda, khususnya dalam rangka membangun keseimbangan antara intelektualitas dan moral akhlak mereka.
Salah satu kendala yang layak diketengahkan kaitannya dengan makin terpinggirkannya kata-kata mutiara Nusantara adalah mengenai bahasa, baik dalam perspektif internal maupun eksternal. Kendala secara internal, seperti munculnya kecenderungan ‘meninggalkan’ dengan sengaja penggunaan bahasa daerah lisan maupun tertulis pada mayoritas generasi muda. Hingga pada suatu saat, bukan mustahil jika mereka akan benar-benar tercerabut dari bahasa dan budaya ibunya secara esktrem. Sedangkan kendala eksternal, bahasa dan peribahasa Nusantara nyaris tidak direspon dan dipelajari oleh masyarakat daerah lain, kecuali mereka yang mempunyai hubungan sosial intensif. Padahal, jelas sudah ada bahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk menerjemahkan peribahasa-peribahasa daerah tadi sehingga memungkinkan diapresiasi dan dimengerti secara luas.
Selain manfaat seperti dipaparkan di atas, peribahasa benar-benar merupakan salah satu hasil karya kebudayaan etnis yang di dalamnya tercermin pula beragam kompleksitas gagasan, nilai, norma, pandangan hidup, bahasa, cita rasa keindahan, serta kepercayaan dari masyarakat yang bersangkutan. Dan karena nilai yang terkandung di dalamnya banyak yang bersifat universal dan sarat kemanusiaan, maka kata-kata mutiara sering mempunyai daya ledak luar biasa hingga menembus ke luar lingkungannya. Artinya, banyak kata mutiara yang juga dipahami, digemari, dan dipakai oleh mereka yang berada di luar masyarakat tempat dilahirkannya kata-kata mutiara tadi.
Bagi masyarakat modern, mengapresiasi peribahasa dimungkinkan akan memperoleh kesenangan dan pengalaman sebagaimana peristiwa atau kejadian yang dikisahkan. Mereka juga dapat mengembangkan imajinasinya untuk mengenal manusia, daerah dan situasi yang masih sangat asing, atau belum pernah dikunjungi selama ini.
Kecuali menghasilkan pengalaman dan kenikmatan literer, kata-kata mutiara juga merangsang terjadinya simulasi intelektual. Yaitu, memunculkan ide, wawasan, atau pemikiran baru yang datang setelah menghayati arti makna dan latar belakangnya secara tuntas. Peribahasa dimungkinkan juga memberikan informasi yang tak tercantum dalam kamus atau ensiklopedi. Artinya, wawasan yang terkandung dalam kata-kata mutiara berbeda dengan fakta yang umum dibakukan. Ia tak sekadar menggambarkan, namun memberikan ide dan wawasan yang lebih dalam. Sehingga dapat dipahami kelemahan, ketakutan, cita-cita, atau hakikat manusia lebih dari yang disajikan dalam teks psikologi, sosiologi, maupun antropologi.
Peribahasa atau sering disebut ‘kata-kata mutiara’ dimungkinkan pula memberikan warisan kultural. Mereka yang menikmati dan mempelajarinya sedikit banyak akan memperoleh kontak dengan impian, harapan, dan aspirasi, yang menjadi akar kebudayaan suatu masyarakat. Selanjutnya, menikmati kata-kata mutiara dapat memberikan keseimbangan wawasan. Lewat kata-kata mutiara seseorang dapat menilai kehidupan berdasarkan pengalamannya dengan banyak individu.
Ia juga memberi banyak kesempatan bagi pembaca untuk memilih respon emosional atau rangkaian aksi yang mungkin sangat berbeda dengan yang tersaji oleh kehidupan sendiri. Dengan kata lain, rangkaian aksi tersebut mungkin tak pernah ada atau tak pernah terjadi dalam kehidupan faktual. Dan terakhir, kata-kata mutiara ternyata memiliki kesanggupan dan daya pukau yang luar biasa dalam menembus pikiran dan emosi pembaca sehingga kadang menimbulkan pengaruh luar biasa terhadap wawasan, sikap dan perilaku.
Selama ini peribahasa diakui sebagai salah satu karya kebahasaan dan sastra, sama halnya cerpen, puisi, esai, novel, cerita rakyat, cerita anak, prosa liris, dan lain-lain. Maka pendokumentasian peribahasa umumnya berada pada institusi kebahasaan. Namun, kebijakan tersebut agaknya juga memicu ketimpangan. Teks-teks peribahasa cenderung hanya disimpan (didokumentasi), atau menjadi arsip kepustakaan belaka. Padahal, niat para penciptanya, peribahasa bukan hanya untuk disimpan dan sesekali dibaca, melainkan diwujudkan dalam perilaku individu maupun sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Pertanyaannya, bagaimanakah nasib peribahasa di negara saudara-saudara serumpun? Mungkinkah peribahasa-peribahasa Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, disebarluaskan sehingga nilai-nilai kearifan lokal di sana dapat dikaji dan diapresiasi oleh masyarakat negara lain?
Yogyakarta, 19 November 2016
*Makalah dalam Kongres PSBNS 2016 di Yogyakarta.
**Sastrawan, Pendiri Komunitas Persada Studi Klub bersama Umbu Landu Paranggi cs (1969-1975) di Malioboro.



