Kesaksian Fauzi Bowo Atas Kepahlawanan Ali Sadikin

Oleh: Wakhid Nur Efendi*

“Ini adalah karakter seseorang. Saya dan Bu Mia (sekretaris pribadi Ali Sadikin) menjadi saksi bahwa Pak Harto mendatangi Jalan Borobudur (rumah Bang Ali) karena Pak Ali Sadikin yang biasanya bersilaturahmi ke Jalan Cendana absen pada Idul Fitri tahun itu,” urai Fauzi Bowo, mantan Gubernur DKI Jakarta dalam seminar Ali Sadikin: Dari Gubernur Pejuang Menjadi Rakyat Pejuang.

Fauzi Bowo memang adalah salah satu anak buah kesayangan Bang Ali. Bisa jadi Pak Harto sudah tidak menjabat presiden lagi. Sementara Bang Ali adalah salah satu pengkritik keras Soeharto setelah melepas jabatannya sebagai Gubernur DKI. Namun bukankah konflik semasa berdinas tak jarang masih dibawa oleh dua orang atau pihak yang saling bertikai?

Karakter Ali Sadikin yang disebut oleh Fauzi Bowo memang karakter unggul. Bang Ali berwatak keras sebagaimana ciri seorang militer, namun dengan cepat belajar watak demokratis yang digariskan oleh sistem pemerintahan modern.

Namun dalam watak Orde Baru yang semakin lama tampil dalam nada otoriterisme dalam balutan feodalisme budaya Jawa, yang direpresentasikan Presiden Soeharto dan aparatusnya, Ali Sadikin atau Bang Ali tampak menjadi seorang anomalist. Dia gubernur yang bisa amat demokratis, antifeodalisme.

Fauzi Bowo melanjutkan, dia menyaksikan pula bagaimana Gubernur Ali Sadikin tengah diprotes oleh Adnan Buyung Nasution, Ketua LBH DKI Jakarta waktu. “Lalu Fauzi Bowo bukannya kalian ini dibiayai oleh pemerintah DKI, mengapa kalian malah menyerang pemerintah DKI?” tanya Bang Ali.

Akhirnya Fauzi Bowo mengomentari, “Bapak sih mau biaya mereka, ya pasti akan begini jadinya.” Namun hebatnya Bang Ali, ia menjadikan LBH sebagai mitra untuk melihat sisi lain pembangunan dan masukan dari kalangan luar, sembari melatih jiwa demokratis dalam dirinya maupun lembaga kegubernuran DKI.

Karakter keras Bang Ali ternyata dibarengi oleh kemauan mempelajari hal-hal yang baru belajar serta bervisi pula. Alhasil, Bang Ali-lah yang memelopori berbagai hal, seperti renovasi kampung yang pernah digagas namun belum pernah mewujud semenjak dipikirkan Husni Thamrin, pembangunan gedung SMP dan SMA, sebagai cara meningkatkan derajat literasi warga. Ia juga mendirikan Taman Ismail Marzuki (TIM), sebuah kompleks pusat kesenian representatif demi mengimbangi Jakarta yang berkembang menjadi kota metropolitan dan perdagangan.Alhasil, kegarangan Jakarta terserap oleh kesejukan seni yang dibutuhkan masyarakat urban yang kering makna.

Sebagai birokrat pun, Bang Ali memelopori hal-hal yang kemudian menjadi viral, untuk menyebut istilah sekarang, dan ditiru oleh pemerintah pusat maupun daerah lainnya. Ia membangun sistem pemerintahan modern, antara lain, menerapkan sistem keuangan daerah, sehingga makna otonomi daerah mewujud.

“Gubernur Ali Sadikin pula yang membeli super komputer IBM dari Amerika untuk pertama kalinya, menyeleksi para pelajar maupun karyawan DKI demi mengembangkan Jakarta ke depan sebagai daerah yang berkualitas SDM-nya dan masyarakat yang berprestasi,” tambah Fauzi Bowo.

Tak lupa, Fauzi pun menyinggung pemerintahan dan watak pemimpin akhir-akhir ini yang dirasakannya semakin jauh dari semangat demokratis dan norma hukum, lebih mengutamakan keluarga, kelompok, dan golongannya. Fauzi masih mengingat petuah Ali Sadikin, “Kekuasaan harus diselenggarakan berdasar hukum, bukan atas dasar kekuasaan.”

*Alumni Jurusan Sejarah FS UGM, seorang penulis

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *