Oleh: Wahjudi Djaja*
Lahir dan tumbuh dalam kebesaran seorang bangsawan. Menjadi panutan dalam kesederhanaan. Tidak saja membumikan pendidikan yang berwatak dan berkepribadian, tetapi juga lantang menyuarakan keadilan dan kesederajatan. Teguh kukuh menjaga nalar. Berani dan bernyali menginspirasi negeri.
Als Ik Eens Nederlander Was
Keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk merayakan kemerdekaan Belanda dari Prancis dengan memungut biaya dari rakyat Nusantara membuat Suwardi Suryaningrat marah. Suwardi pun mengkritik pemerintah secara tajam dalam artikelnya: Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda).
Tulisan dimuat di koran de Expres bulan Juli 1913, antara lain menyatakan:
Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya.
Liberasi dari Tradisi
Sejak kecil Suwardi Suryaningrat mendobrak belenggu tradisi. Suwardi memilih hidup dengan rakyat kebanyakan yang bebas dan merdeka daripada terkungkung gelar kebangsawanan. Saat berusia 40 tahun dalam hitungan Tahun Caka (bertepatan 23 Februari 1928) Raden Mas Suwardi Suryaningrat mengganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Suwardi ingin bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Nama baru itu sebetulnya mempunyai sejarah. Sebelum mendirikan Taman Siswa, Suwardi membentuk kelompok diskusi ”Selasa Kliwonan”. Diskusi dipimpin Ki Ageng Suryomentaram, adik Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Kemampuan Suwardi dalam hal ilmu keguruan dan pendidikan ternyata amat menonjol. Saat R.M. Sutatmo Suryakusumo (anggota Volksraad/Budi Oetomo) memimpin diskusi, secara spontan menyebut Suwardi dengan sebutan Ki Ajar. Suwardi tampaknya terkesan dengan nama itu sehingga dijadikan nama barunya.
Pendidikan dan Kemerdekaan
Sejak merdeka Indonesia memiliki 30 menteri pendidikan. Masing-masing mempunyai masalah dan karakter, tak sedikit yang membuat kebijakan yang berbau politis. Di tengah hiruk pikuk sistem pendidikan yang tak juga menemukan format terbaiknya, ada baiknya kita ziarahi kembali filosofi pendidikan yang diletakkan Ki Hajar Dewantara.
Dalam belutan kolonialisme Barat yang masih mencengkeram kuat, Ki Hajar mampu menemukan sistem pendidikan yang tidak saja merupakan bagian dari strategi perjuangan nasional, tetapi juga menyemai generasi penerus yang berkarakter, berkepribadian, dan berkebudayaan.
Untuk meraih tujuan mulia itu, ditawarkan konsep Tringa, yaitu ngerti (mengetahui), ngrasa (memahami), dan nglakoni (melakukan). Konsep itu telah diterapkan di Taman Siswa sejak 1922, jauh sebelum dipopulerkannya Taxonomy Bloom (cognitive, affective, psychomotor) tahun 1956. Konsep Ki Hajar disemai di sebuah ”taman” yang memerdekakan dan bisa terletak di dalam keluarga, keguruan, dan pergerakan (masyarakat).
Anak dibiarkan menemukan kemerdekaannya dengan didampingi pamong. Anak tetap sebagai subjek pembelajaran, sedangkan pamong mendampingi dengan prinsip tut wuri handayani (mengikuti bakat dan talenta anak dari belakang sambil membimbingnya). Orientasi pendidikan Taman Siswa adalah terbentuknya manusia yang humanis karena miliki daya cipta, daya rasa, dan daya karsa. Sampai disini peran Ki Hajar dengan Taman Siswa tak tergantikan.
Manusia Susila dan Cakap
Adalah Ki Hajar Dewantara yang menggagas lahirnya UU Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Pasal 3 menyebutkan: ”Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”.
Sementara itu pada pasal 5 (2), disebutkan: ”Di taman kanak-kanak dan tiga kelas yang terendah di sekolah rendah bahasa daerah boleh dipergunakan sebagai bahasa pengantar”.
Terlihat jelas bagaimana visi pendidikan kita untuk membekali anak dengan kebudayaan, demokrasi, dan nasionalisme. Tiga kata inilah kunci keberhasilan pendidikan dalam kerangka national and character building.
Amanat UUD 1945, negara harus mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanpa visi dan orientasi yang jelas dan disepakati bersama, pendidikan nasional justru menjadi pembodohan nasional. Bakat dan talenta anak kurang memperoleh ruang dan dukungan yang semestinya karena pendidikan yang kurang memberi ruang bagi tumbuh kembang potensi anak.
Apabila kita konsisten dan konsekuen dalam menempatkan Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan, inilah momentum yang tepat untuk membumikan gagasan briliannya tentang pendidikan nasional. Dengan begitu, tak sia-sia Kemdikbud menempatkan semboyan ”Tut Wuri Handayani” pada lambangnya.
*Ketua Umum Keluarga Alumi Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama), Penulis Buku Biografi (Bilingual) Ki Hajar Dewantara



