Oleh: Ancah Yosi Cahyono*
Mendut tanpa mahkota kemuncak, bagaikan burung hias yang kehilangan bulunya
(Van Erp, 1909)
Begitulah komentar Van Erp setelah melihat karya van der Ham dan Kerjes atas arahan Brandes untuk pemugaran Candi Mendut yang berlangsung 7 tahun tapi menyisakan hal yang terkesan “nanggung”.
Pada 1908 di sela pekerjaan besarnya di Borobudur, ia juga diperintahkan oleh Dinas Purbakala pada waktu itu untuk menilik kelayakan keberlanjutannya pemugaran Mendut. Ia mulai menelusuri jejak-jejak sisa pekerjaan sebelumnya dan mulai mencocokkan dengan batuan yang belum dipasangkan kembali.
Dari penelusurannya itu beserta memeriksa laporan pekerjaan yang dilakukan oleh Brandes, ia kemudian memahami kenapa kemuncak pada atap candi Mendut tersebut mengalami kebuntuan. Dia menemukan jika pemasangan kemuncak atap stupa disebabkan oleh tidak ditemukannya batu penyusun untuk tubuh atap 3 candi Mendut yang seharusnya menjadi penopang Stupa tersebut.

Brandes dalam sketsanya memang pernah mengusulkan untuk membuat tubuh atap ke tiga ini berbentuk hexagonal (segi delapan) melingkar, ia mengambil contoh ini dari bangunan Buddhis yang ada di tempat lain, yaitu bentuk atap Kalasan dan Candi Lumbung. Namun karena hal ini masih sebatas perkiraan, tanpa adanya dukungan batu asli sebagai saksi maka, pekerjaan untuk memasang tubuh atap tiga di urungkan.
Ia kemudian berfokus untuk mencari batu-batu yang hilang tersebut bukan hanya di lingkungan candi, namun area pencarian dan pengumpulan dilebarkan ke desa-desa sekitar. Akan tetapi, walau telah menghabiskan dana sebesar 3000 Gulden, untuk biaya ganti rugi batu yang diambil dari penduduk, tampaknya batu yang berhasil dikumpulkan kembali masihlah tetap belum cukup.
Brandes mulanya menargetkan paling tidak menemukan 90 batu penyusun kemuncak atap ketiga, namun apalah daya, ia hanya mampu mengumpulkan sekitar 20 batu penyusun. Disebabkan hal inilah kemudian pekerjaan itu terhenti.
Van Erp kemudian mencoba mengotak-atik batu yang telah dikumpulkan Brandes dan tim sebelumnya. Dimana ia mengemukakan asumsi baru, bilamana bentuk kemuncak atap ketiga bukanlah hexagonal, namun lebih berbentuk seperti salib Yunani, dimana bentuk ini sesuai dengan bentuk tubuh atap satu dan dua.

Sekarang, anggap saja masalah bentuk dasar tubuh atap 3 selesai, namun pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan ketinggiannya, karena pada saat itu van Erp tidak menyebutkan angka mengenai ketinggian tubuh. Atau, anggap saja ketinggian tubuh ini diketahui dengan hitungan perbandingan lebar dan tinggi candi, tapi bagaimana dengan relungnya? Apakah menggunakan relung sebagai pengisi penampil, relung penampil semu, atau tanpa relung penampil?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak disinggung oleh van Erp, yang bisa jadi ia memang belum menemukan jawabannya, karena bagaimanapun ia seharusnya menulis hal tersebut, sebab laporannya ini ditulis untuk mengajukan dana guna pemugaran melanjutkan pemugaran Candi Mendut. Paling tidak ia harus mampu meyakinkan pihak OD untuk berkenan memberikan dana dengan semaksimal mungkin menyatakan argumennya.
Dan pada kenyataannya pihak OD memang urung menggelontorkan dana, walau Van Erp sudah memberikan saran untuk meminta bantuan swasta seperti yang dilakukan Perancis di Kamboja untuk meringankan beban keuangan terkait restorasi bangunan purbakala.
Ya begitulah sedikit cerita mengenai kasus “mahkota” Mendut, yang mungkin bisa disejajarkan dengan kasus Catra Borobudur. Pemugaran bangunan purbakala memang bukan untuk sekedar dorongan “kepuasan”, indah atau tidak indah, sempurna atau tidak sempurna, namun lebih ke arah bagaimana menceritakan kembali masa lalu dengan cara mengorek informasi masa lalu dari bangunan yang seolah diam membisu.
Jika terdapat kesalahan dalam hal pemugaran, bukan hanya alasan estetik yang dipertaruhkan, namun sama saja memalsukan sejarah, dan itu fatal akibatnya untuk perjalanan sebuah bangsa. Maka dari itu, jika terdapat sedikit saja keraguan mengenai bentuk bangunan purbakala sebelum dipugar, yang harus dilakukan adalah mendiamkannya dan biarkan waktu dan segala upaya untuk tetap bekerja.
Untuk yang terakhir saya mengutip kalimat Soekmono:
“Keputusan untuk membangun kembali atau tidak membangun kembali candi yang telah direkonstruksi di atas kertas merupakan kewenangan ilmu arkeologi. Spekulasi harus dihilangkan, dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan melihat kebangkitan bangunan yang pernah hancur tidak boleh menjadi pertimbangan sama sekali.”
Maka dari itu, untuk restorasi bangunan purbakala, serahkan kepada ahlinya. Karena percayalah, semua menginginkan yang terbaik dari yang paling baik.
Kadisara, 070224
*Praktisi Percandian, Anggota Kandang Kebo
Gambar: Reka Bentuk Mendut, Van Erp, 1909.



