Oleh: Wahjudi Djaja*
Catatan Pembuka
Yogyakarta adalah salah satu rumah besar tempat beragam narasi kesejarahan Indonesia yang berskala nasional maupun internasional. Peran itu tak lepas dari kedudukan Yogyakarta sebagai Ibukota Revolusi sejak 1946 – 1950. Di hampir setiap sudut kota ini tersimpan beragam kisah perjuangan baik fisik maupun diplomasi yang menentukan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di balik hiruk pikuk kota berpredikat Kota Perjuangan ini bisa ditemukan beragam kisah orang-orang besar yang mewarnai panggung nasional sejak awal kelahirannya. Beragam bangunan dan peninggalan sejarah yang berasal dari era Kesultanan Yogyakarta sampai kolonial Belanda dan pendudukan Jepang meneguhkan peran dan kedudukan kota ini dalam konfigurasi sejarah nasional.
Ada lima simpul yang bisa dijadikan pijakan dalam melacak peran Yogyakarta di kancah nasional maupun internasional. Kelimanya adalah Keraton Yogyakarta, Kauman dengan Muhammadiyah, Taman Siswa, Gedung Agung dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Kelimanya merepresentasikan peran kesejarahan Yogyakarta dalam dinamika politik dan kebudayaan nasional bahkan sampai era mutakhir. Benang merah kelima simpul itu bisa dilacak pada sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX, KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Ir. Sukarno dan Prof. Dr. Sardjito. Berbicara tentang Yogyakarta tanpa menyebut kelima tokoh rasanya kurang sempurna.
Tulisan berikut tidak akan menguraikan peran kesejarahan kelima tokoh sejarah karena dibutuhkan studi tersendiri apalagi menyangkut sisi arsip dan dokumentasi yang membutuhkan waktu dan ketelitian. Fokus tulisan ini adalah pada sebuah peristiwa sejarah berskala internasional yang pernah digelar di kompleks kampus Universitas Gadjah Mada pada 26 Oktober sampai 14 Nopember 1959. Peristiwa yang dimaksud adalah Konferensi Rencana Colombo yang dihadiri tidak kurang dari dua puluh negara. Harapannya, dengan tulisan ini selain bisa memberi kesadaran sejarah juga menginspirasi munculnya gerakan kebangsaan dan tetenger tentang sebuah peristiwa penting dengan locus di Yogyakarta.
Kompleks Colombo dan Arsip yang Tercecer
Bagi masyarakat atau mahasiswa yang pernah tinggal di Yogyakarta tentu tidak asing dengan istilah “Kompleks Colombo”. Sebutan ini merujuk pada sebuah pemukiman atau kawasan yang berada tepat di pertigaan dekat IKIP Yogyakarta (UNY). Pertigaan Colombo atau disebut juga Pertigaan Gejayan adalah salah satu titik penting saat demonstrasi menuntut reformasi tahun 1998 selain Bunderan UGM. Dulu, tepat di ujung pertigaan di dekat makam dari arah Bunderan masih ditemukan papan nama dari kayu yang bertuliskan “Kompleks Colombo”. Entah mengapa kini tak ditemukan lagi! Namun berapa orang yang ngeh bahwa sebutan itu merujuk pada sebuah peristiwa besar berskala internasional saat Indonesia masih belia?
Hal yang aneh dan cukup mencengangkan adalah tak banyak civitas akademika UGM yang tahu bahwa dibalik lima gedung—yang oleh Bung Karno diberi nama Gedung Panca Dharma—itu tersimpan memori sejarah bangsa yang sangat besar peranannya dalam menjaga eksistensi Republik Indonesia. Di kompleks gedung lama di kawasan Sekip itulah pada 26 Oktober—14 Nopember 1959 digelar Konferensi Colombo Plan. Situs yang kini menjadi Sekolah Vokasi itu seolah diam membisu menyimpan memori masa lalu.
Kondisi itu tentu wajar adanya. Nyaris tak ada upaya untuk mengangkat peristiwa besar itu sebagai memori kolektif yang harus selalu diingat dan diperingati. Bisa jadi hal itu berkaitan dengan minimnya arsip yang bisa diakses dan dipublikasikan. Juga bagaimana derap juang rakyat saat membangun Selokan Mataram yang legendaris atau peran mereka yang menjadi perisai hidup selama revolusi fisik yang bertebaran di hampir semua wilayah di Yogyakarta, kita kesulitan melacak dan menemukannya. Harapan kita tinggal saksi hidup yang makin tahun makin hilang karena faktor usia. Bisa jadi, di balik riuh rendah keistimewaan Yogyakarta, itu beberapa agenda dan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Konferensi Colombo Plan
Konferensi Colombo didirikan 28 Nopember 1950 dan mulai beroperasi pada 1 Juli 1951. Pada awalnya bernama “Colombo Plan for Cooperative Economic Development in South and Southeast Asia”. Sedangkan Konferensi Colombo Plan adalah tindak lanjut dari Konferensi Kolombo yang dilaksanakan pada 28 April-2 Mei 1954 di Ibukota Srilanka. Hadir saat itu dari pihak tuan rumah Sir John Kotelawala, U Nu (Burma atau Myanmar), Jawaharlal Nehru (India), Muhammed Ali (Pakistan) dan Ali Sastroamijoyo (Indonesia). Untuk menghapus praktik kolonialisme, menentang senjata pemusnah massal (nuklir) dan menciptakan perdamaian dunia, PM Ali Sastroamijoyo mengusulkan konferensi agar diperluas meliputi negara-negara Asia dan Afrika. Usul ini disepakati hingga berlangsung Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 yang mengeluarkan komunike Dasasila Bandung.
Dalam sebuah monografi yang berjudul Rentjana Colombo: Untuk Perdamaian dan Kemakmuran di Asia Selatan dan Tenggara yang dikeluarkan oleh Konperensi ke-XI Dari Panitia Musjawarah Jogjakarta, Indonesia 26 Oktober-13 Nopember 1959, ditulis alasan mengapa puluhan negara mau terlibat aktif dalam Konferensi Colombo Plan. “Djawabnja terletak dalam kesadaran, jang sudah lama ada diantara bangsa-bangsa merdeka, bahwa, dalam satu dunia jang dengan tjepat mendjadi ketjil, hanja dengan usaha bersama jang bersifat damai dapat diselesaikan dengan baik masalah-masalah manusia jang pokok”.
Konferensi Rencana Colombo XI yang digelar di kompleks UGM Yogyakarta dihadiri tidak kurang 150 orang delegasi. Mereka berasal dari 21 negara antara lain Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, Burma, Jepang, India, Pakistan, Indonesia, Kamboja, Thailand, Laos, Filipina, Sri Lanka, Singapura, Kalimantan Utara, dan Serawak. Hadir juga beberapa lembaga peninjau seperti Colombo Plan Bureau, ECAFE, UNTB, dan IBRD. Terkait keperluan konferensi, penyelenggara meminjam beberapa gedung milik Universitas Gadjah Mada yang terletak di Sekip dan Bulaksumur. Gedung-gedung yang dibangun oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta di Demangan juga digunakan peserta (yang kemudian dikenal dengan Kompleks Colombo).
Mengapa (di) Yogyakarta?
Dalam buku Pidato P.J.M Presiden Soekarno Pada Konperensi Rentjana Kolombo di Jogjakarta yang dikeluarkan Departemen Penerangan RI, sangat jelas alasan Bung Karno memilih Yogyakarta sebagai tempat penyelenggaraan konferensi. “…di kota ini jang telah mengasuh masa pembibitan revolusi kami dan jang telah merupakan tempat pembibitan kemerdekaan kami”.
Apa yang dikatakan Bung Karno dalam pidatonya itu bukan saja pengakuan faktual atas peran Yogyakarta bagi Indonesia, tetapi juga mengabarkan tentang kemungkinan dijadikannya Kota Perjuangan ini sebagai deseminasi semangat pergerakan. Tak lebih sebulan setelah Indonesia merdeka, tentara Sekutu dengan NICA merapat di Tanjung Priok. Provokasi dan aneksasi yang mereka lakukan membuat suasana Jakarta menjadi tidak aman bagi jalannya pemerintahan Republik Indonesia yang masih belia. Sejarah kemudian mencatat peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai perisai yang tidak saja menyelamatkan dan menjaga tetap tegaknya NKRI tetapi juga menopang segala kebutuhan pemerintahan. Yogyakarta menjadi Ibukota negara masa Revolusi 1946-1949.
Yogyakarta dipilih sebagai ajang peristiwa penting dunia selain karena peran dan ketokohan Sri Sultan Hamengku Buwono IX serta Rektor UGM Prof. Sardjito, juga karena Yogyakarta telah dua kali menyelenggarakan konferensi internasional yaitu International Rubber Study Group Conference bulan Juli 1957 dan ECAFE Conference bulan Oktober 1957. Dengan kedudukan dan peran sejarah yang strategis itulah Konferensi Colombo Plan diputuskan untuk digelar di Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima pemberitahuan secara resmi bahwa Konferensi Rencana Colombo tahun 1959 akan diselengarakan di Yogyakarta pada 26 Desember 1958. Dalam waktu sepuluh bulan beliau menggerakkan seluruh potensi untuk mempersiapkan dan menyambut hajatan nasional tersebut.
Konferensi Colombo Plan sukses digelar di kawasan UGM yang merupakan Perguruan Kebangsaan Pertama. Beragam komunike dan rekomendasi berhasil dikeluarkan menyangkut pembangunan di Asia, terutama bahwa pembangunan perekonomian tak boleh hanya mengeksploitasi sumber daya alam tetapi juga mengembangkan ilmu pengegahuan dan teknologi. Disepakati juga melalui Surat Keputusan Menteri Pertama nomor: 317/MP/1959 Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta diangkat sebagai Ketua Host Committee, sedangkan Koordinator Penyelenggara diangkat Suwito Kusumowidagdo.
Dukungan Rektor UGM Prof. Sardjito atas hajatan itu sangat luar biasa. Gedung Panca Dharma yang berada di Kompleks Sekip (pernah menjadi Gedung Perpustakaan dan Fakultas Pertanian) menjadi venue utama. Persidangan selama konferensi (main conference hall) berlangsung di Gedung Unit V. Sedangkan Gedung Unit III dan Unit IV dipergunakan sebagai ruang pameran, kantor delegasi, ruang wartawan, Kantor Pos Telegram dan Telepon, Kantor Host Committee, penyedia souvenir, Kantor Cabang Bank Indonesia, Kantor GIA, ruang makan, Imigrasi, pemutaran film, klinik dan kebutuhan pendukung. Perumahan Kompleks Demangan dipergunakan sebagai tempat menginap para delegasi tingkat ahli. Para delegasi tingkat menteri menginap di perumahan di Kompleks Bulaksumur (yang kini menjadi perumahan dosen). Para wartawan dalam dan luar negeri yang meliput jalannya Konferensi Colombo Plan menginap di Hotel Garuda.
Dari foto dokumentasi konferensi yang ada, terlihat kemeriahan pelaksanaan Konferensi Colombo Plan. Rektor UGM menggerakkan tidak kurang 118 mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam kepanitiaan. Terbayang, mereka yang bisa jadi masih hidup merupakan saksi hidup yang bisa kita mintai informasi terkait konferensi bersejarah tersebut. Sambutan warga masyarakat Yogyakarta juga terlihat begitu antusias. Dengan mengenakan beragam pakaian khas, mereka berjajar di depan arena konferensi yang kini tepat di Jalan Kaliurang. Mereka terlihat bahagia melihat tamu negara yang berlalu lalang di sekitar Gedung Panca Dharma Kompleks UGM di Sekip. Bendera negara-negara peserta dipasang di depan arena konferensi sehingga menimbulkan kesan meriah dan berwibawa.
Catatan Penutup: Kota Inspirasi
Yogyakarta adalah sebuah kota dengan rekam jejak kesejarahan yang faktual. Beragam peristiwa berskala nasional dan internasional tersimpan rapat di dalamnya. Tak boleh dilupakan juga peran rakyat dan mahasiswa yang tiada henti mewarnai lukisan negeri. Semua menjadi narasi sejarah yang sangat menarik untuk diungkap dan diperbincangkan. Yogyakarta melalui peran monumentalnya dalam rentang panjang sejarah bangsa telah memerankan diri sebagai Kota Inspirasi.
Berbicara tentang sejarah keindonesiaan tanpa menyinggung peran Yogyakarta adalah ahistoris. Permasalahannya adalah dimanakah generasi muda bisa membuka kisah-kisah legendaris dan heroik itu bagi bahan pembelajaran peradabannya? Kita berpacu dengan waktu. Para saksi sejarah terkait beragam peristiwa penting di Yogyakarta semakin terbatas dan berkurang. Berbagai situs dan peninggalan sejarah tentang peristiwa-peristiwa itu juga belum semua teridentifikasi atau bahkan telah berubah fungsi. Jika harapan hanya ada pada arsip dan dokumentasi, tentu perlu kerja keras dan tekun untuk mengumpulkan dan membukanya kembali.
Dalam kerangka itu perlu dibentuk tim task force yang melibatkan berbagai lembaga terkait seperti ANRI, Arsip UGM, DPAD DIY, dan kementerian terkait seperti Kementerian Luar Negeri dalam konteks Konferensi Colombo Plan. Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (KASAGAMA) juga memiliki sumber daya yang bisa dilibatkan. Mereka bisa bergerak secara simultan untuk sama-sama mengangkat mutiara masa silam terkait peran kesejarahan Yogyakarta. Kita berharap beragam arsip baik yang bersifat literal (dokumen yang tercipta akibat dicetak, ditulis, digambar, atau direkam), korporal (dokumen berwujud benda sejarah), dan individual (dokumen yang berwujud surat menyurat/arsip) yang masih tercecer segera bisa dikumpulkan dan disatukan. Hanya dengan cara demikian, sejarah masa lalu Yogyakarta bisa diselamatkan dan dipertanggung jawabkan kepada publik secara akademis.
Daftar Bacaan:
Pidato P.J.M Presiden Soekarno Pada Konperensi Rentjana Kolombo di Jogjakarta (Departemen Penerangan RI).
Rentjana Colombo: Untuk Perdamaian dan Kemakmuran di Asia Selatan dan Tenggara (Konperensi ke-XI Dari Panitia Musjawarah Jogjakarta, Indonesia 26 Oktober-13 Nopember 1959).
Rentjana Colombo: Tudjuan dan Kerdjanya (Departemen Penerangan Republik Indonesia).
*Wahjudi Djaja, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)
**Pernah dimuat di Buletin Kearsipan Jogja (Bukarjo) DPAD DIY Edisi Pertama 2022



