Oleh: Wahjudi Djaja*
Pemerintah Kota Yogyakarta berdiri pada 7 Juni 1947. Peraturan yang mendasarinya adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte Kota Yogyakarta. Haminte adalah pemerintahan kotapraja pada masa pendudukan Belanda. Dalam UU tersebut, pemerintahan haminte kota terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Haminte Kota (Dewan Kota), Dewan Executief Haminte Kota (Dewan Pemerintah Kota) dan Walikota.
Setahun sebelumnya tepatnya mulai 4 Januari 1946 Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia. Adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menawarkan kepada Presiden Soekarno mengingat kondisi Jakarta sudah tidak aman lagi dijadikan pusat pemerintahan. Sampai Desember 1949 Yogyakarta menjadi ibukota revolusi dengan ditandai beragam peristiwa penting yang melibatkan tokoh-tokoh sejarah.
Cukup menjadi pertanyaan kenapa Walikota Yogyakarta Soedarisman Poerwokoesoemo tak banyak muncul dalam buku pelajaran sejarah. Lahir pada 22 Oktober 1913 dan wafat pada 29 Februari 1988, Mr (Meester in de Rechten) Soedarisman tidak saja dikenal sebagai seorang bangsawan tetapi ahli hukum dan pelaku sekaligus penulis sejarah yang disegani. Alumni Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta) ini pernah menjabat sebagai Walikota Yogyakarta mulai 22 Juli 1947 sampai 22 September 1966.
Artinya, pada masa pemerintahannya itu terjadi beragam peristiwa berskala besar di Yogyakarta. Agresi Militer Belanda 19 Desember 1948, Serangan Umum 1 Maret 1949, Perundingan Kaliurang, Pemilu 1955, Konferensi Colombo Plan 1959, sampai peristiwa 1965 yang menewaskan Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono. Kepeduliannya dalam bidang pendidikan dibuktikan dengan mendirikan Universitas Gadjah Mada (19 Desember 1949) dan Universitas Janabadra (7 Oktober 1958).
Berbicara sejarah Yogyakarta kurang afdol kalau belum membaca karyanya. Buku Daerah Istimewa Yogyakarta (1984), Kadipaten Pakualaman (1985), Kasultanan Yogyakarta: Suatu Tinjauan tentang Kontrak Politik 1877-1940 (1985), atau Tanggapan Atas Disertasi Berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta (Selo Sumardjan) adalah contoh bagaimana sosok bersahaja ini memiliki kepedulian yang tinggi pada sejarah. Tekun, teliti, detail, autentik dan menempatkan fakta sebagai landasan dalam berkarya menjadi gambaran kinerjanya.
Dalam buku Kadipaten Pakualaman, beliau menulis dengan jernih:
Buku ini dapat ikut serta menggerakkan generasi muda bangsa Indonesia untuk menggali dan memperdalam sejarahnya sendiri. Sebab untuk dapat membentuk sejarah bangsa yang mendatang, harus mengenal sejarahnya sendiri, baik yang sudah lampau maupun yang sedang berjalan. Kita dapat belajar banyak dari sejarah.
Tokoh pergerakan yang pernah masuk Jong Java (1928), Indonesia Moeda (1930), Komisi Bahasa Indonesia (1933), dan Ketua DPRD Haminte Kota (1947) ini paham betul makna sejarah dan apa manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sejarah bukan hanya kisah masa lalu, tetapi juga bagaimana fondasi desain masa depan tanpa meninggalkan aspek kekinian. Dengan kata lain, apa dan siapa yang terjadi di sekitar kita hari ini tak boleh dilupakan. Karena peritiwa yang terjadi pada hari ini akan menjadi sejarah pada masa depan.
Soedarisman adalah tokoh yang berada di balik berdirinya koran Kedaulatan Rakyat. Percetakan yang ada pada masa revolusi adalah Sinar Matahari. Oleh Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta, Mr Soedarisman Poerwokoesoemo, percetakan Sinar Matahari diubah namanya menjadi Kedaulatan Rakyat pada 26 September 1945. Momentumnya bertepatan saat Jepang meninggalkan Yogyakarta.
Yang belum diungkap–dan karenanya perlu diteliti lebih dalam–adalah peran Mr Soedarisman selaku Walikota Yogyakarta saat Serangan Umum 1 Maret 1949. Ini sangat menarik karena, mustahil Sri Sultan Hamengku Buwono IX tak melibatkan Soedarisman sebagai penguasa kota Yogyakarta. Pernah suatu saat beliau mempertanyakan inisiator serangan, tetapi kemudian menjadi polemik yang tak menghasilkan fakta baru. Saat itu, Soeharto ikut memberi komentar terhadap pihak yang meragukan perannya dalam serangan yang membuka mata dunia perihal eksistensi Indonesia itu.
Bagaimanapun, kita wajib berterima kasih kepada KPH Mr Soedarisman Poerwokoesoemo yang telah dengan penuh tanggung jawab menulis sejarah sekitar Yogyakarta. Andai beliau juga menulis perannya selama periode perang sampai konsolidasi Orde Baru, betapa lengkap kita memiliki khazanah masa lalu. Mungkin beliau tak ingin menonjolkan diri, atau–secara tak langsung–mendelegasikan kepada kita untuk menuliskan perannya. Semoga ada kesempatan bagi kita untuk mewujudkannya.
Dirgahayu Pemerintah Kota Yogyakarta!
Daftar Walikota Yogyakarta
M Enoch (1947)
Soedarisman Poerwokoesoemo (1947-1966)
Soedjono AY (1966-1975)
H Ahmad (1975-1981)
Sugiarto (1981-1986)
Djatmikanto Danumartono (1986-1991)
R Widagdo (1991-2001)
Hery Zudianto (2001-2011)
Haryadi Suyuti (2011-2016)
Sulistyo (Pj) (2016-2017)
Haryadi Suyuti (2017-2022)
Sumadi (Pj) (2022-2023)
Singgih Raharjo (Pj) (2023-2024)
Sugeng Purwanto (Pj) (2024)
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



