Kurniawan Junaedhie Seorang Sphinx Kebudayaan

Oleh: Wahjudi Djaja

Jika tulisan dijadikan penanda zaman–yang karenanya kehidupan bisa terdokumentasikan–maka penulis mestinya ditempatkan sebagai penjaga sekaligus pengukir peradaban. Dalam kerja sunyi dan hanya berteman kata, penulis–siapapun dia dan dari genre apa saja–telah mengerjakan sebuah tugas yang mulia. Bukan sebuah pilihan, tapi itu sejatinya adalah sebuah amanah peradaban. Tak bisa dihitung bagaimana besar peranannya dalam tumbuh kembang kebudayaan, penulis pada akhirnya adalah seorang duta peradaban.

Dalam kerangka itu, saya ingin melihat Kurniawan Junaedhie, akrab disapa KJ, seorang pejalan peradaban dalam pengertian sebenarnya. Sejak belia menekuni dan merajut kata hingga jadi untaian karya sastra, Mas KJ adalah seorang saksi atas perjalanan susastra kita yang sering luput ditempatkan sebagaimana mestinya. Bisa jadi itu adalah representasi sikap negara pada insan budaya. Bisa juga itu merupakan gambaran bagaimana kualitas atmosfir kebudayaan. Dibutuhkan tetapi tak ada penghargaan yang sepadan yang diberikan manusia-manusia yang tulus ikhlas menapaki jalan sunyi.

Lahir pada 24 November 1956 menapaki jalan hidup yang tak jauh dari kata sehingga mendekatkannya pada ladang kebudayaan. Menulis sejak SD, menyinggahi media massa papan atas melalui beragam karya, mengantarkannya pada dunia jurnalistik kewartawanan sejak 1977. Mendirikan sanggar, mengakrabi bengkel sastra, atau mengelola komunitas sastra, adalah konsekuensi logis yang dijalani sebagai seorang pejalan kebudayaan. Menjadi terasa istimewa dan langka manakala langkah itu tak setiap orang mau dan mampu melakukannya. Tak pernah kita tahu apa yang dia rasakan saat sendiri dalam kesunyian berkutat dengan buku saat beratus bahkan ribuan orang menanti launching karya yang tengah ia susun.

Mungkin tiga kali saya bertemu senior yang pelit bicara ini. Saat launching antologi Sang Peneroka di Unwidha Klaten, Kongres Perhimpunan Sastrawan Budayawan Negara Serumpun (PSBNS) di Yogyakarta dan sebuah acara di Rumah Budaya Tembi Bantul. Saat bertemu relatif susah saya merekonstruksi sosok yang telah melahirkan beragam karya dari berbagai genre ini. Satu hal, ia selalu memberikan energi positif untuk urusan kebudayaan khususnya sastra. Easy going, suka membantu dalam konteks penyusunan antologi dan ringan tangan mendistribusikan serta melayani pengiriman buku, bagi sosok tak tak lagi muda ini jelas perlu mendapat catatan tersendiri.

Dunia kepenyairan dan perbukuan sedang mengalami goncangan akibat intervensi budaya digital. Saat status dan penghargaan negara kepada kalangan sastrawan belum begitu menggembirakan, sedang upaya mobilisasi terhadap mereka untuk cawe-cawe di dunia politik kian kentara, Mas KJ terlihat masih tegar dan tekun dalam kesunyian. Sesekali terlihat ia menulis status menyinggung atraksi di atas panggung politik, tapi saya yakin itu sekedar pelepas lelah saja!

Wartawan dan sastrawan–kalau kita buka lembar sejarah bangsa–adalah dua entitas yang amat dekat dengan pergerakan. Generasi pertama para pemimpin kita dipenuhi oleh orang-orang yang tak jauh dari dunia kewartawanan dan kesusastraan. Mereka hidup dan berjuang dengan idealisme. Bahwa bagi sebuah bangsa, ruh adalah sesuatu yang sangat esensi. Dan ruh itu terletak pada budaya atau–lebih mengerucut lagi–sastra. Bisa dicek, dimana ada bangsa yang maju di sana pasti ada jejak pujangga atau sastrawan dengan karya-karya lintas peradaban. Rekam jejak bangsa ini pun begitu. Ada saat dimana bangsa ini mengalami puncak peradaban. Sayangnya, sekali lagi sayangnya, bangsa ini rendah sekali penghargaannya pada arsip sejarah kebudayaannya.

Kadang punya gagasan, betapa elok jika negara melalui lembaga terkait mengidentifikasi, mendokumentasi dan membuat biografi atas tokoh-tokoh yang tak kenal lelah mendedikasikan hidupnya untuk buku dan kebudayaan. Lalu di akhir masa hidupnya diberikan tunjangan sebagai sebuah penghargaan atas dedikasi mereka. Tetapi bangsa ini miskin dan pelit untuk para sastrawannya. Negara ini terlalu mengobral murah untuk masa depan peradabannya. Tak aneh jika kebudayaan semakin dipandang sebelah mata, tidak saja oleh bangsa lain tetapi juga oleh anak-anak bangsa sendiri.

Tetapi Mas KJ tak pernah terdengar–setidaknya oleh indera saya–berkeluh kesah atas itu semua. Ia memang seorang Sphinx sejati. Untuk itulah saya menulis catatan budaya ini. Tentu, dengan segala hormat dan doa tulus ikhlas.

Selamat ulang tahun Mas KJ. Semoga senantiasa berkah sepanjang langkah, dikaruniai panjang usia penuh makna. Aamiin

Ksatrian Sendaren, 24112023


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co