Oleh: Wahjudi Djaja”
Mengikuti perjalanannya serasa kita diajak menjelajahi, membuka dan mempelajari semesta kehidupan. Penuh warna, ada batas-batas yang menjadi ruang makna, dibingkai dengan nada atau irama, dan ada bahagia yang nyata dibaca. Serupa elang dia terbang dengan imaji, tetapi juga bisa menjadi merpati saat kehangatan hendak dicitrakan. Segala sesuatu yang dilandasi cinta, membuka ruang-ruang tegur sapa, baik melalui pertemuan raga maupun perjumpaan jiwa.
Jangan Biarkan Momentum Lewat
Lim Hans. Seorang yang energik dan mempunyai mobilitas yang tinggi. Dari level bawah sampai atas berada dalam jangkauan persahabatannya. Tidak saja menyinggahi sudut-sudut Nusantara tetapi juga keindahan kota dengan gedung indah dan sungai bening di Eropa. Anaknya memang tinggal di luar negeri, sebuah pencapaian orang tua yang amat layak diapresiasi. Orang–melalui tangkapan citra maya–hanya melihatnya sebagai musisi yang piawai memainkan beragam alat atau pelukis sketsa. (Yunani skedios extempore artinya tanpa persiapan, menjadi sketch dalam bahasa Inggris, dan dipahami sebagai kerangka awal atau rengrengan lukisan.

Dalam batas pemahaman saya sebagai seorang sejarawan, Lim Hans adalah pencatat peradaban. Lebih dari sekedar memotret–sebagaimana kerja fotografer–Hans mengabadikan beragam sudut peradaban sesuai angle yang disukai. Ada subjektivitas yang melatari, ada objek yang menjadi fokus, ada nilai yang diangkat, ada momen yang diabadikan. Jika itu kemudian diterakan pada semua karyanya–yang dengan suka cita dipublikasikan di akunnya–kita bisa melihat sebuah peradaban yang utuh.
Momentum hanya sekali terjadi. Sekali dia bergerak atau pindah, sulit untuk kembali pada kita. Maka begitu dia datang, segera catat dan abadikan. Lihat dan pahami betul detail objek yang terlihat, transformasikan ke dalam sketsa, lalu biarkan dia bicara di ruang dan waktu yang berbeda. Itulah karya yang autentik dan orisinil dan selalu memberikan kenangan, pelajaran atau kehangatan ketika kita melihat dan membacanya kembali. Belum tentu Hans sekalipun akan bisa menelusuri kompleks Kota Lama Semarang dengan Gereja Blenduk sebagai icon dalam suasana dan konteks yang sama.

Kerja Hans–yang saya baca seperti itu–adalah kerja seorang ilmuwan khususnya sejarawan. Novel Pasar karya Kuntowijoyo–Mahaguru Sejarah UGM–konon lahir dari hobinya membuat catatan pada notes yang tak pernah lupa ditaruh di dalam sakunya. Lihat bagaimana para dosen dan ilmuwan Indonesia harus byayakan ke berbagai perpustakaan Negeri Belanda hanya untuk membaca catatan para pejabat Belanda saat mereka menjadi bagian dari kolonialisme di Nusantara. Atau, andai tak ada Negarakrtagama yang ditulis pada lontar oleh Mpu Prapanca, bisakah kita memahami betapa maju dan kompleksnya Majapahit?
Mencatat–melalui tulisan atau sketsa–adalah kerja membuat sumber sejarah. Dan apa yang dilakukan Hans seolah mempraktikkan ungkapan Latin, verba vollant schrita manent, yang diucap akan hilang yang ditulis akan abadi. Itulah yang saya maksud kerja peradaban. Harus diakui, urusan dokumentasi proses kreatif di kalangan seniman kita relatif lemah. Berkarya tentu keharusan, tetapi mendokumentasikan laku dan proses tak boleh ditinggalkan.
Sketsa Sebagai Ekspresi Jiwa Merdeka
Saya pernah mendampingi dan menilai desa wisata di Godean. Begitu melihat tobong genteng, intuisi segera muncul dan saya sampaikan kepada para pengelola wisata. Ini bisa menjadi objek tour wisata bagi kalangan perkotaan. Itu yang meletup saat saya melihat sketsa perkampungan perajin genteng di Godean karya Hans. Konteks ditransformasikan ke dalam teks–sketsa–dengan indah dan terlihat karakter perkampungannya.
Saya tidak akan masuk ke dalam struktur keilmuan lahirnya sketsa. Tapi dengan melihat berpuluh sketsa karya Hans, kita menjadi tahu ada jiwa merdeka dalam dirinya. Begitu total dan menikmati hidup, tak lelah berkarya, dan tak pernah mengekspresikan kesedihan. Kehangatan dan cinta bisa jadi yang menopang itu semua. Dalam beberapa hal saya iri dengan caranya merawat cinta dengan belahan hatinya. Maka siapapun dia, akan senantiasa nyaman berinteraksi dengan sosok gagah kelahiran Kalimantan ini.

Akhirnya, jika Bung Hatta pernah berkata, “Pada saatnya foto adalah revolusi”, saya berani menyitir–khusus untuk Hans–pada saatnya sketsa adalah revolusi. Terbayangkah sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang bagaimana kondisi fokus dan objek sketsa Hans? Bisa jadi telah berubah. Mungkin rusak, ada tambahan bangunan baru atau hilang sama sekali. Itulah kenapa catatan–dan dalam pengertian ini dokomentasi–menjadi sangat penting. Kelak, misal ada kesempatan, betapa ingin saya menjadi bagian dari catatan atau sketsa Om–demikian saya sapa–Lim Hans. Entah dalam bentuk pameran sketsa atau penulisan buku. Dus, karya yang baik adalah karya yang menginspirasi, menggugah dan menyadarkan. Dan itu saya temukan pada karya sketsanya.
Ksatrian Sendaren, 20 Januari 2024
*Budayawan, tinggal di Sleman



