Kedudukan Pulau Bali sebagai destinasi wisata nasional begitu kukuh karena didukung ruh budaya yang terus menyala dalam kehidupan warganya. Budaya bukan hanya soal pentas seni atau atraksi wisata. Budaya yang lahir dari falsafah hidup menjadi pedoman pengembangan usaha wisata.
Demikian benang merah sarasehan budaya mahasiswa STIE Pariwisata API Yogyakarta dengan narasumber Wahjudi Djaja MPd yang mengampu matakuliah Filsafat dan Logika. Sarasehan dilakukan di plaza Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali sambil menanti pementasan tarian kecak, Senin (5/2/2024) sore. Dalam sarasehan itu narasumber membacakan salah satu puisi Taufiq Ismail dilanjutkan tanya jawab.
Merespon ruang, lanjut budayawan Sleman ini, menjadi kunci pengembangan kreativitas dan karakter manusia. “Kita sekarang berada di salah satu mahakarya budaya yang menjadi icon Pulau Dewata. Terlalu sayang kalau hanya kita lewati tanpa meresponnya. Kreativitas itu menyangkut kemampuan kita dalam merespon ruang, menginisiasi menjadi gagasan dan membuka diri bagi penciptaan karya baru”, paparnya.

Para mahasiwa STIE Pariwisata API Yogyakarta berasal dari berbagai pulau dengan latar belakang budaya yang beragam. “Coba bandingkan agar menemukan ide baru. Itulah inti program benchmarking. Kampus kita, memfasilitasi pengembangan diri mahasiswa. Dan kita sangat mengapresiasi para mahasiswa yang mau menampilkan kemampuannya dalam beragam kegiatan di desa wisata dan desa budaya di Yogyakarta. Itu menjadi branding kita”, tandas peraih Anugerah Kebudayaan Sleman 2023 ini.
Di tempat terpisah salah satu dosen STIE Pariwisata API Yogyakarta, Yitno Purwoko MSc yang sudah puluhan kali mengunjungi Bali, menyampaikan pentingnya desa-desa belajar dari Desa Butuh, Kuta Selatan, Badung. “Mereka kerja keras secara swadaya untuk membuka dan mengembangkan pantai Pandawa. Dulu tanahnya tandus berbukit kapur, terisolir tetapi mempunyai sumber mata air. Mereka bahkan berani meminjam 14 M untuk membuka akses jalan dan berani menolak investor. Ini langkah yang berani dan menginspirasi dalam pemberdayaan potensi. Saya pernah bertemu dengan kepala desanya saat menerima penghargaan di Kemenparekraf”, jelasnya.
Menanggapi hal itu, Setiawan Priatmoko, SE MM yang juga dosen STIE Pariwisata API Yogyakarta menganggap perlunya melakukan diversifikasi usaha wisata. “Tidak semua harus menunggu berdirinya Pokdarwis. Dalam beberapa kasus, kesadaran warga masyarakat menjadi kunci. Dan satu hal, tak boleh dilupakan peran negara dalam membuka jalan. Kita lihat yang ada di Bali ini. Untuk memotong tebing, membuat jalan dan mendirikan beragam sarana prasarana wisata raksasa, tentu diperlukan anggaran yang tidak sedikit”, tandas kandidat doktor dari Hongaria ini.

Sedangkan Sulistiono MM memandang perlunya mempertimbangkan kota-kota mengeksplorasi potensi sejarah dan budayanya saat mengembangkan pariwisata. “Memang kata kuncinya pada kualitas sumber daya manusia. Bisa tidak mereka mengangkat potensi sejarah budayanya agar mampu menopang pariwisata. SDM yang bermental rendah, gampang menyerah dan gagal menangkap potensi serta peluang jelas menjadi hambatan. Di situlah pentingnya belajar ke destinasi wisata yang sudah jadi”, ungkapnya.
Pementasan tari Kecak di GWK menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Panggung terbuka dengan view tebing cadas dan alam yang indah mendukung pementasan menjadi artistik dan fenomenal. Ribuan wisatawan dalam dan luar negeri mengunjungi dan menikmati pentas seni tradisi di GWK.
(*)



