Oleh: Bekti Endar Susilowati*
Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Ungkapan melankolis yang akrab bagi mereka yang pernah tinggal atau berkunjung ke Yogyakarta. Diadopsi dari puisi Joko Pinurbo yang mengandung makna bahwa Yogyakarta memiliki identitas dengan ciri khas yang selalu dirindukan untuk kembali dikunjungi. Sejalan dengan realita bahwa Yogyakarta menyandang predikat sebagai tempat tujuan wisata favorit pada tahun 2024. Hasil tersebut didasarkan pada survei yang dilakukan oleh GoodStats yang berjudul “Kota Pilihan Masyarakat Indonesia 2024”.
Yogyakarta menempati peringkat pertama dalam predikat tujuan wisata yaitu sebesar 71,2℅, diikuti Denpasar (Bali) dan Bandung (Jawa Barat). Ironisnya, berdasarkan data BPS secara nasional jumlah perjalanan wisatawan Nusantara menurut provinsi tujuan pada bulan September 2024, Yogyakarta memiliki sebanyak 2.321.171 perjalanan, atau masih menempati peringkat ke-7 setelah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, dan Sumatera Utara.
Visi RPJPD DIY 2005-2025 dalam Kepariwisataan dan Tantangannya
Kepariwisataan merupakan salah satu perhatian utama Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebagaimana tertuang dalam visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2005-2025 yaitu DIY menjadi daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara pada tahun 2025.
DIY diharapkan memiliki pesona sebagai daerah tujuan wisata yang diminati baik masyarakat domestik maupun mancanegara. Sayangnya, Yogyakarta tidak termasuk ke dalam Destinasi Super Prioritas pemerintah pusat. Dalam website Kemenparekraf disebutkan bahwa 10 destinasi wisata prioritas Indonesia di luar Bali adalah Borobudur di Jawa Tengah, Mandalika di NTB, Labuan Bajo di NTT, Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur, Kepulauan Seribu di Jakarta, Danau Toba di Sumatera Utara, Wakatobi di Sulawesi Utara, Tanjung Lesung di Banten, Morotai di Maluku Utara, dan Tanjung Kelayang di Kepulauan Bangka Belitung.
Hal ini tentunya merupakan tantangan bagi Yogyakarta selama beberapa tahun ini, untuk melakukan effort yang lebih dalam bersaing dengan destinasi wisata daerah lain terutama Destinasi Super Prioritas.
Perkembangan Pariwisata Terkini dan Kontribusinya di DIY
Menurut Berita Resmi Statistik BPS Provinsi DIY, pada Bulan September 2024 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 9.621 kunjungan, atau mengalami penurunan sebesar 5,08 persen dibandingkan dengan Agustus 2024. Sementara itu, pada periode Januari-September 2024 perjalanan wisatawan nusantara (wisnus) ke DIY sebanyak 28,48 juta perjalanan. Pada periode yang sama di tahun 2023 (cumulative-to-cumulative) tercatat sebesar 23,16 juta perjalanan atau mengalami peningkatan sebesar 22,99 persen.
Kunjungan wisatawan Nusantara terbanyak menurut kabupaten/kota tujuan di DIY pada bulan September 2024 adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar 1.040.775 perjalanan atau dengan kontribusi sebesar 34,15% persen dari total perjalanan wisnus di DIY, disusul Kota Yogyakarta (818.050 perjalanan), Kabupaten Gunungkidul( 527.983 perjalanan), Kabupaten Bantul (492.703 perjalanan), dan Kabupaten Kulonprogo (168.094 perjalanan).
Hal ini menggambarkan kecenderungan ketidakmerataan kunjungan wisatawan nusantara di Kabupaten/Kota se DIY. Kulonprogo memiliki potensi dengan keberadaan bandara YIA harapannya bukan hanya sekedar menjadi gerbang masuk dan keluar, namun juga memiliki potensi dalam pengembangan ruang-ruang pariwisata baru berkelas dunia di sekitar bandara.
Fenomena-fenomena di atas merupakan tantangan, baik itu pemerintah DIY, kabupaten/kota, maupun masyarakat untuk mewujudkan realita kemajuan sektor pariwisata sesuai dengan ekspektasi sebagaimana salah satu visi RPJPD. Di dalam RPJPD 2005-2025 disebutkan bahwa Bidang Pariwisata memiliki sumbangan paling besar terhadap PDRB melalui sektor perdagangan, perhotelan, restoran, dan jasa-jasa lainnya, dimana jasa perhotelan paling dominan di antara 4 (empat) sektor tersebut. Sementara itu, menurut informasi pada situs https://kominfo.slemankab.go.id/ disebutkan bahwa 30 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD) salah satu kabupaten yang ada di DIY, yaitu Kabupaten Sleman, berasal dari pariwisata.
Diketahui bahwa kontributor paling besar pendapatan ini berasal dari pajak usaha pariwisata meliputi pajak hotel, restoran, serta hiburan. Begitu pula Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Bantul mencatat selama Januari sampai dengan Juni 2024, telah mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak Rp14,55 miliar atau 29,69 persen dari target PAD sektor pariwisata 2024 sebesar Rp49 miliar (Sumber : https://jogjapolitan.harianjogja.com/). Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Gunungkidul dari sektor pariwisata pun mencapai Rp 16 miliar dan nilai tersebut melebihi 50 persen dari target PAD sebesar Rp 28 Miliar (Sumber: radarjogja.jawapos.com). Dapat disimpulkan bahwa bidang pariwisata memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam bidang ekonomi, baik perekonomian daerah maupun dampaknya terhadap ekonomi masyarakat.
Libur Nataru 2025 sebagai Momentum Besar Sektor Pariwisata
Berdasarkan data BPS, selama tahun 2024, jumlah perjalanan wisnus terbanyak terjadi pada Januari 2024 yaitu mencapai 4,27 juta perjalanan. Jumlah perjalanan wisatawan nusantara ke DIY dari September 2020 sampai dengan September 2024 mengalami kenaikan di setiap Bulan Desember dan Januari. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu momen yang dapat dijadikan peluang besar untuk memajukan sektor pariwisata adalah libur Natal dan Tahun Baru.

Hal tersebut sebagaimana disampaikan disampaikan oleh Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan (Event), Vinsensius Jemadu di acara “The Weekly Brief with Sandi Uno” pada November 2023 bahwa libur Natal dan Tahun Baru merupakan salah satu momentum besar di sektor pariwisata. Untuk itu perlu adanya persiapan yang matang dalam menyambut momentum tersebut.
Persiapan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi kekurangan/kelemahan, peluang, dan kompetisi potensi wisata Yogyakarta. Berdasarkan penelitian yang telah dipublikasikan oleh Balai Penelitian Pengembangan dan Statistik Daerah Bappeda DIY ditemukan kelemahan Sektor Pariwisata Yogyakarta ketika musim libur panjang antara lain kemacetan dan kepadatan lalu lintas (dalam kota maupun di destinasi), manajemen atraksi dan destinasi yang masih terbatas, distribusi kunjungan belum merata (timpang), dan organisasi /tata kelola daerah tujuan wisata yang belum optimal.
Upaya Optimalisasi Potensi Wisata D.I. Yogyakarta
Penelitian Pengembangan dan Statistik Daerah Bappeda DIY memberikan beberapa rekomendasi antara lain penataan infrastruktur di Yogyakarta sebagai tujuan wisata, harus dibuat sedemikian rupa untuk mendukung sektor pariwisata dan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Permasalahan kemacetan lalu lintas sudah mulai diselesaikan dengan “memaksa” masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum saat masuk kawasan pusat kota. Langkah ini didukung dengan tidak menyediakan lahan parkir di pusat kota, melainkan di pinggiran kota, atau tempat-tempat parkir khusus, namun kualitas pelayanan angkutan umum harus dibuat lebih baik. Selain itu daya tarik untuk wisatawan adalah tersedianya jalur pejalan kaki (pedestrian) yang nyaman. Pedestrian di wilayah perkotaan juga hendaknya terintegrasi/terhubung dengan stasiun kereta api atau terminal, sehingga wisatawan dari luar kota bisa dengan mudah menuju pusat kota dengan berjalan kaki atau beralih menggunakan moda angkutan umum lainnya.
Sementara itu, Kabupaten Kulonprogo yang notabene memiliki kunjungan wisatawan yang paling rendah dibandingkan Kabupaten/Kota di DIY lainnya, dapat mengembangkan sektor pariwisata antara lain dengan menciptakan Beach front corridor dari Kulon Progo – Bantul (Konektivitas, Daya tarik, Akomodasi), MICE Center Destination – Art & Permormace Center (mendukung aerotropolis), dan Theme Park Sermo – Suroloyo dan Non stop shuttle Bandara – Kota Jogja (Sebagai Pusat Pariwisata).
Pemerataan potensi wisata juga dapat dilakukan dengan pengembangan dan peningkatan aksesibilitas melalui Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) agar membuka konektivitas Pantai Selatan Jawa dan membuka aksesibilitas destinasi wisata sepanjang pantai di DIY. Dalam aspek SDM pariwisata, perlu ditingkatkan kapasitas dan profesionalismenya, terutama dalam menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Pengelolaan produk wisata juga perlu sentuhan yang profesional. Akomodasi/ hotel dan penginapan, rumah makan/restoran, cenderamata, marketing/media komunikasi dan kebutuhan lainnya untuk meningkatkan kekuatan dan meraih peluang serta menjadikan kelemahan dan tantangan sebagai kekuatan butuh pengelolaan secara berkesinambungan.
Sementara itu, pemerintah pusat juga telah melakukan persiapan menyambut Libur Nataru 2025. Dilansir dari situs https://www.menpan.go.id/ pada 24 Oktober 2024, Kemenhub sudah menyiapkan Operasi Nataru 2024/2025 untuk liburan aman dan selamat. Terkait sarana dan prasarana transportasi darat, Direktur Lalu Lintas Jalan, Ahmad Yani, memaparkan bahwa dalam operasi Nataru mendatang, sebanyak 113 terminal tipe A dan 32.120 bus, termasuk bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), Antar Jemput Antar Provinsi (AJAP), bus sewa, serta angkutan pariwisata, akan disiapkan untuk masyarakat yang hendak berlibur. Pihak Kemenhub juga akan melakukan inspeksi keselamatan melalui rampcheck terhadap 10.000 kendaraan angkutan umum mulai 6 November hingga 20 Desember 2024 di terminal-terminal tipe A.
Kegiatan tersebut akan bekerja sama dengan Balai Pengelola Transportasi Darat serta Dinas Perhubungan setempat. Sejalan dengan upaya tersebut, harapannya di DIY juga diimplementasikan hal serupa. Identifikasi kemacetan lalu lintas, pengaturan jalur one way menuju objek wisata juga dapat dilakukan untuk mencegah kemacetan. Selain itu, hendaknya selama puncak Libur Nataru tidak ada proyek perbaikan jalan raya menuju jalur-jalur wisata. Adanya perbaikan jalan tentunya berpotensi memperparah kemacetan. Ketidaknyamanan wisatawan ketika melakukan perjalanan wisata dapat menjadikan jera dan menurunkan citra Yogyakarta sebagai kota yang nyaman untuk berwisata.
Selain itu, ekonomi kreatif juga memiliki peran penting dalam meningkatkan daya tarik destinasi wisata. Produk dan layanan kreatif dapat memperkaya pengalaman wisatawan, sehingga membuat mereka lebih tertarik untuk berkunjung dan kembali lagi. Sebagai contoh, festival budaya, galeri seni, dan pertunjukan musik lokal dapat menarik wisatawan dan menciptakan kesan mendalam tentang budaya setempat. Untuk mendukung pariwisata berkelanjutan, diperlukan kolaborasi antara sektor ekonomi kreatif dan industri pariwisata. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat hendaknya bekerja sama untuk mengembangkan produk kreatif yang unik dan berkelanjutan. Upaya tersebut diharapkan dapat membantu menjaga kelestarian budaya dan lingkungan, begitu pula meningkatkan daya saing destinasi wisata (Sumber: https://lsppariwisata.com/).
Ekonomi kreatif ini dapat pula dikembangkan melalui UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Optimalisasi peran UMKM dalam hal layanan dan produk, baik itu pada destinasi wisata, rest area, maupun pusat oleh-oleh dapat dilakukan guna mendukung sektor pariwisata. Dengan demikian, diharapkan sektor pariwisata juga dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat setempat.
Berdasarkan teori pendukung terkait daya tarik wisata, yaitu menurut Cooper dkk (1995) tentang Konsep 4A, terdapat 4 (empat) komponen yang harus dimiliki oleh sebuah objek wisata, yaitu attraction, accessibility, amenity dan ancilliary. Attraction (Atraksi) merupakan modal atraksi yang menarik kedatangan wisatawan itu ada tiga, yaitu Natural Resources (alami), Atraksi wisata budaya, dan Atraksi buatan manusia itu sendiri. Amenity (Fasilitas) yaitu segala macam sarana dan prasarana yang diperlukan oleh wisatawan selama berada di daerah tujuan wisata. Accessibility (Aksesibilitas) merupakan segala macam transportasi ataupun jasa transportasi menjadi akses penting dalam pariwisata. Ancilliary (Pelayanan Tambahan) Pelayanan yang disediakan termasuk pemasaran, pembangunan fisik (jalan raya, rel kereta, air minum, listrik, telepon, dan lain-lain) serta mengkoordinir segala macam aktivitas dan dengan segala peraturan perundang-undangan baik di jalan rayamaupun di objek wisata. Empat komponen tersebut dapat digunakan untuk bahan pertimbangan dalam upaya optimalisasi potensi wisata.
Terkait urgensi pencapaian salah satu visi RPJPD yaitu “DIY menjadi daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara pada tahun 2025”, masih ada waktu di penghujung masa akhir RPJPD ini untuk melakukan upaya-upaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun hambatan, serta melakukan evaluasi kebijakan. Oleh karena itu, sangat diperlukan optimalisasi potensi untuk meningkatkan pesona Yogyakarta sebagai tempat destinasi wisata terutama dengan memanfaatkan momentum Libur Nataru 2025.
*Bekti Endar Susilowati, S.Si., M.Stat.
Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten Sleman



