Mangayubagya 10 Windu Prof Timbul Haryono, Komunitas Kandang Kebo Akan Gelar Sarasehan Candi

Oleh: Wahjudi Djaja*

Mangka kanthining tumuwuh
salami mung awas éling
éling lukitaning alam
dadi wiryaning dumadi
supadi nir ing sangsaya
yéku pangreksaning urip
(MN IV, Wedhatama, Kinanthi)

Bagi kalangan arkeolog dan sejarawan Prof Dr Timbul Haryono MSc adalah rujukan penting. Kiprah dan dedikasinya pada pengembangan Ilmu Arkeologi diikuti dengan totalitas penelitian dan pengabdian patut dijadikan teladan. Tak aneh ilmuwan bersahaja ini memperoleh Anugerah Kebudayaan Indonesia pada 2023 berupa Satyalencana Kebudayaan.

Lahir di Klaten pada 5 Oktober 1944, memulai pendidikan di Sekolah Rakyat (tamat 1957), melanjutkan ke SMP Negeri I Klaten (1961) dan SMA Negeri ABC Klaten (1964). Pendidikan tinggi ditempuh di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Jurusan Arkeologi, dilanjutkan S2 di University of Pennsylvania lulus pada 1982. Gelar Doktor diraih dari Universitas Gadjah Mada (1994) hingga memperoleh gelar Profesor (27 April 2002) dengan pidato berjudul “Logam dan Peradaban Manusia dalam Perspektif Historis – Arkeologis”.

Tiga Sisi Artefak

Aktif menulis sejak 1977, terutama dalam tema besar kebudayaan Jawa Kuno. Yang sering dijadikan fokus tulisan antara lain tentang ideologi, sosiologi, dan teknologi terkait peninggalan arkeologis kesejarahan. Tema arkeometalurgi, misalnya, bisa dibaca pada buku “Menguak Jejak-Jejak Budaya Jawa Kuno”, sebuah tulisan komprehensif tentang aspek teknologi masa lalu masyarakat Jawa sekitar abad V sampai XV M. Enam belas tulisan meliputi aspek ideologi, sosiologi, dan teknologi merefleksikan pemahaman dan pengalamannya menyangkut dua aspek keilmuan penting, arkeologi dan filologi. Dari situ kita menjadi tahu, periode Kerajaan Mataram Kuno memiliki struktur sosial, ideologi, dan teknologi yang kompleks dan peninggalan sejarah merupakan mahakarya agung.

Terkait eksistensi candi, Prof Timbul mengklasifikasi menjadi tiga fungsi. Secara edukatif menjadi media pembelajaran, secara ekonomis memberi manfaat bagi penduduk, dan secara ideologis menjadi kebanggaan bangsa. Dalam catatannya, dulu ada pembagian peninggalan sejarah termasuk candi ke dalam dua kelompok. Yakni living menument (monumen hidup yang melekat pada sistem budaya masyarakat seperti Masjid Demak) dan dead monument (terlepas dari sistem budaya masyarakat seperti Candi Borobudur).

Keberadaan candi sebagai artefak sejarah, tak luput dari perhatian dan penelitian Timbul Haryono. Ada tiga klasifikasi penting yang diberikan, yakni teknofak, sosiofak dan idiofak. Tiga matarantai itu (teknologi, sosiologi dan ideologi) nampaknya menjadi dasar bagaimana Timbul melacak jejak kehidupan masa lampau bangsa melalui beragam peninggalan sejarah. Selain sebagai pemujaan pada raja yang telah meninggal, candi merupakan pusat pengajaran agama dan penghormatan dewa-dewi.

Candi Ijo Pembuka Sejarah

Kedekatan emosional, menurut Kuntowijoyo, memang menjadi faktor penting bagi seseorang saat menulis sejarah. Tak terbayang seorang Timbul yang masa kecilnya bermain di reruntuhan Candi Ijo bisa menjadi seorang arkeolog. Tapi dari situlah kecintaannya pada benda-benda peninggalan sejarah dan seni tradisi membara dalam dirinya. Rasa cinta itu kemudian ditrasformasikan menjadi energi keilmuan yang tiada pernah kering.

Selain pakar arkeometalurgi, ayah MC kondang Anang Batas ini dikenal sebagai pionir yang mengawali penelitian kuliner Mataram Kuno sebagaimana tertulis dalam relief candi maupun Serat Centhini. Yang terakhir kita ketahui sebagai sebuah catatan dokumenter tentang perikehidupan manusia Jawa. Di dalamnya terdapat data-data verbal tentang makanan tradisional Jawa masa lampau. Dalam kategorinya ada makanan pokok, makanan dan minuman, sayur dan lauk pauk, sambal dan lalapan, serta makanan camilan dan minuman.

Sebagai manusia Jawa, Timbul Haryono paham betul dengan peranan gamelan dalam masyarakat. Itu mendorongnya untuk melakukan penelitian relief di sejumlah candi hingga lahir buku “Instrumen Gamelan dalam Relief Candi di Jawa”. Alat musik tradisional Jawa yang digambarkan dalam relief candi di Jawa memberinya jalan untuk membuka relasi antara pengaruh Hindu-Budha dengan Jawa. Harmonisasi irama gamelan itu ternyata menjadi pengalaman estetis dan religius tersendiri baginya. Bisa jadi dari situlah ia menemukan keterkaitan antara jagad gumelar dan jagad gumulung, harmoni kehidupan yang harus dipahami oleh manusia Jawa.

Mangayubagya 80 tahun Prof Timbul Haryono, Komunitas Kandang Kebo menggelar Sarasehan Candiologi dan Candiografi di Indonesia. Acara dilaksanakan di basecamp Komunitas Kandang Kebo Ngalian Widodomartani Ngemplak Sleman DIY pada Minggu 6 Oktober 2024 mulai 09.00 WIB.

Sama-sama lahir di Klaten, ada kebanggaan pada diri saya bisa mengenal beragam kiprah dan karya Prof Timbul terutama bidang kesejarahan. Saat kuliah di Jurusan Sejarah FS UGM (1990-1995), tentu mendapat tambahan Ilmu Arkeologi dan beliau adalah salah satu dosen kami. Perluasan cakrawala pemikiran kesejarahan amat saya rasakan saat membaca karya dan laku lampah beliau. Dan beliau tentu amat paham dengan pesan peradaban KGPAA Mangkunegara IV di awal tulisan. Bahwa teman hidup manusia adalah eling waspada sambil membaca tetanda alam. Selain mendorong manusia menapaki laku keutamaan juga menjauhkan dari kesengsaraan.

Sugeng ambal warsa Prof, mugi panjang yuswa, tansah sehat paring manfaat tumrap masyarakat. (dari berbagai sumber)

Ksatrian Sendaren, 1 Oktober 2023
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama), anggota Komunitas Kandang Kebo, Peraih Anugerah Kebudayaan Sleman 2023 Kategori Budayawan.

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co