Mangayubagyo Pemberian Anugerah Kebudayaan DIY 2023 Kepada Prof Djoko Suryo

Oleh: Wahjudi Djaja*

Pada Selasa (31/10/2023 Maha Guru Ilmu Sejarah FIB UGM Prof Dr Djoko Suryo menjadi salah satu Penerima Anugerah Kebudayaan Gubernur DIY 2023. Mantan Dekan FIB UGM ini menjadi salah satu peraih Kategori Pelestari dan/atau Pelaku Seni, Adat Tradisi, Cagar Budaya dan Maestro/Mpu. Sebuah pengakuan dan penghargaan atas dedikasi pakar sejarah kenamaan ini bagi Yogyakarta.

Sebuah kebanggaan bagi para mahasiswa Jurusan Sejarah FIB UGM atas pemberian anugerah tersebut. Secara pribadi, penulis memiliki pengalaman yang tak pernah terlupakan. Pertama, saat penulis me-launching antologi puisi Satu Kata Istimewa pada 1 September 2012, beliau menjadi narasumber dalam diskusi Meneguhkan Kembali Peran Yogyakarta Sebagai Ibukota Penyair di Purna Budaya. Kedua, saat penulis menjadi Dosen SV UGM yang mendampingi mahasiswa Prodi Kearsipan menyusun biografi beliau pada 2018. Ketiga, beliau hadir dan memberi wejangan saat digelar Kongres Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada pada 17 September 2022. Keempat, penulis menjemput, mengantar dan memoderatori beliau dalam sebuah acara di Dinas Kebudayaan Kulon Progo pada 1 Maret 2023.

Saat menjadi dosen pengampu Mata Kuliah Dokumentasi dan Publikasi Prodi Kearsipan Sekolah Vokasi UGM tahun 2018, saya pernah memberi tugas kepada mahasiswa untuk membuat biografi tokoh-tokoh Yogyakarta. Salah satu kelompok mengangkat Prof Dr Djoko Suryo sebagai tokoh utamanya. Buku biografi ini diberi judul Sejarawan Dalam Pusaran Keistimewaan: Biografi Djoko Suryo.

Dalam buku yang cetak secara terbatas itu, selain diuraikan perjalanan hidup sejak masa kecil di Pekalongan sampai menapaki peran di Yogyakarta. Lahir dari pasangan Siti Chodidjah dan Syaba’an pada 30 Desember 1938, Djoko dididik dalam lingkungan pesantren. Orang tuanya sangat mengharapkan Djoko menjadi seorang guru, hal yang dia pegang dan jalani hingga menjadi guru besar.

Lulus dari Sekolah Guru A di Yogyakarta, Djoko menjadi guru di Wates antara 1959-1962. Bersepeda naik turun bukit menjadi laku keseharian. Antara 1962-1964 pindah jadi guru di Piyungan. Mengajar dan kuliah dijalani hingga 1965 meraih gelar Sarjana Muda dan baru 1970 menjadi Sarjana dengan tugas akhirnya berjudul “Perdagangan Candu di Indonesia pada Abad XIX. Selanjutnya, mulai aktif melakukan penelitian saat tergabung dalam Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan (LSPK) yang diprakarsai oleh Prof. Sartono Kartodirdjo. Selain menjadi asisten Prof. Sartono, Djoko diminta mendampingi Anton Lucas dalam pembuatan disertasi. Paper yang dibuat oleh Djoko berjudul “Some Notes on the Tiga Daerah Affair: A Local Event in The Early Indonesian Revolution”.

Paper itu menarik perhatian Prof. John D. Legge, seorang profesor sejarah di Monash University, hingganmerekomendasikan Djoko untuk melanjutkan studi di Monash University, Australia. Pada 1978, Djoko memboyong keluarganya ke Australia untuk melanjutkan studi S2 dilanjutkan S3 di Monash University. Disertasi yang dibuat Djoko berjudul “Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang (1830-1900)” pada 1984. Pada 20 Agustus 1998 Djoko dilantik menjadi Guru Besar di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM dan menyampaikan pidato berjudul “Masyarakat Indonesia dalam Dinamika Sejarah.

“Bangsa Indonesia kini tidak lagi sekedar sebagai “komunitas imaginer”, akan tetapi menjadi sebuah komunitas yang aktual, yang membuat setiap warga dalam komunitas dapat berkomunikasi dan berinteraksi secara intensif. Masyarakat Indonesia kini telah menjadi masyarakat yang terbuka, kritis dan berwawasan luas, seingga menuntut adanya keterbukaan, kebebasan, dan demokrasi dalam berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi arus perubahan masyarakat terbuka tidak diikuti oleh proses keterbukaan, transparansi, dan demokratisasi dalam kehidupan politik, sehingga menimbulkan benturan, ketegangan, dan konflik berkepanjangan”.

Peran Djoko Suryo bagi Yogyakarta sangatlah penting. Pernah ditunjuk menjadi tim penyusun dan editor buku Kraton Jogja: History and Cultural Heritage. Pengetahuannya dalam bidang sejarah memberikan peranan lebih dalam merumuskan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Bersama tim asistensi, Djoko berusaha membuat undang-undang yang cocok dengan jiwa Yogyakarta serta tidak menghilangkan keistimewaan yang ada di dalamnya. Penyusunan UU tersebut memakan waktu hingga sembilan tahun. Peran itulah yang menyebabkan Djoko dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung Suryohadibroto.

Akhirnya, atas nama pribadi dan Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (KASAGAMA), kami nderek mangayubagya atas pemberian Anugerah Kebudayaan Yogyakarta 2023 kepada Prof. Dr. Djoko Suryo. Semoga beliau senantiasa sehat dan memberi banyak manfaat bagi masyarakat, menginspirasi kami generasi penerus negeri untuk selalu berbakti. Aamiin

*Ketua Umum Kasagama

Ksatrian Sendaren 2 Nopember 2023

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co