Masalahnya, Sepulang Pesta…

Oleh: Wahjudi Djaja*

Meski tiada terdengar bunyi terompet, meski hujan sempat membombardir berbagai wilayah, pesta pergantian tahun 2023/2024 semalam berlangsung meriah. Ribuan orang memadati Lapangan Denggung yang terletak di tepi Jalan Magelang-Yogyakarta. Tidak saja kaum muda–yang padanya akrab dengan dunia pesta malam–tetapi juga orang tua dan anak-anak mereka. Tak sedikit, bahkan, ibu-ibu muda yang datang dari pelosok Sleman rela menggendong anak balitanya yang terlelap tidur untuk berdesakan di lapangan.

Cahaya Dalam Gulita
Saat melihat konfigurasi kembang api warna-warni menghiasi langit yang gelap gulita, beribu manusia menjadi senang gembira. Mereka riuh bertepuk tangan. Meluap segala duka derita yang lama dirasakan. Hampir semua pegang Hp untuk mengabadikan momentum pergantian tahun itu. Tak lebih satu jam, bahkan hanya 30 menit, dari 23.45 sampai 00.15 pesta itu mencabut seluruh kesedihan dan menghadirkan kebahagiaan. Setelah itu, pelan-pelan ribuan manusia itu bergerak. Mereka menapaki jalan pulang. Kembali mereka dihadapkan pada gulita dan kegelapan, tidak saja di jalanan tetapi–bisa jadi–juga dalam realita kehidupan.

Tiap manusia memiliki dinamika. Tak ada yang benar-benar sama. Tetapi soal keterhimpitan, kesumpegan, dan penderitaan, bolehlah digeneralisir menjadi postulat atau rumusan. Kesamaan rasa ini dulu membentuk kesadaran untuk sama-sama berjuang menghadapi atau mengenyahkan ketakadilan. Jika dalam lembaran sejarah ada frasa “perasaan senasib sependeritaan”, itu merujuk pada heroisme dan pergolakan rakyat karena ketakadilan dan praktik kolonialisme. Para ilmuwan dunia seperti Ernest Renan, Hans Kohn atau Otto Bauer menjadikan fenomena itu sebagai awal mula terbentuknya bangsa.

Bagi pribadi yang padanya bersemayam cahaya, kesulitan bisa jadi justru mampu melahirkan daya hidup. Mereka tidak memburu lampu seperti laron di musim penghujan, tetapi justru menyalakan lentera saat di depan mereka hanya ada gulita penuh kegelapan. Mereka, orang-orang yang tak pernah mau menyerah pada keadaan, sering melahirkan pemikiran atau karya yang melintasi sekat penjara atau ruang dan waktu. Banyak tokoh politik, sastra dan budaya yang mampu berbicara lebih keras dari dalam penjara.

Pada usia 29 tahun Ir Soekarno telah berpidato menyampaikan pembelaan di depan persidangan Landraad, Bandung pada tahun 1930. Pidato monumental berjudul Indonesië Klaagt Aan (Indonesia Menggugat) itu disusun dalam pengap penjara Sukamiskin. Sebuah tesis akademis yang menghantam praktik kolonialisme tidak saja di Indonesia tetap juga di berbagai belahan dunia dengan pendekatan ilmiah dan referensi yang menghunjam. Pernah membaca Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Tour? Empat karya masterpiece berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca ditulis saat dipenjara oleh rezim Orde Baru. Atau baca sajak-sajak Widji Thukul yang legendaris itu?

Kesadaran Adalah Matahari
Penyair Burung Merak WS Rendra menulis, kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Rangkaian kata sarat makna itu adalah potongan Sajak Paman Doblang yang dia tulis dari balik dinding penjara pada 22 April 1984.

Matahari adalah simbol kebangkitan dari gulita dan ketakberdayaan. WR Supratman pernah menggubah lagu Di Timur Matahari pada 1943 untuk membangkitkan gelora nasionalisme dan perjuangan. Jauh sebelumnya di masyarakat telah terbiasa dengan lagu Bang Wetan. Semburat cahaya dari timur yang menandakan hari baru dan harus disambut dengan penuh suka cita.

Kata-kata memiliki daya. Bisa menyadarkan, membangkitkan dan menggerakkan. Yang menjadi masalah adalah, apakah ribuan manusia yang memadati lapangan dan tempat-tempat pesta pergantian tahun memiliki kesadaran yang sama saat gulita menyergap hidup mereka? Mereka akan segera disibukkan dengan beragam permasalahan hidup mulai terbatasnya lapangan pekerjaan, mahalnya biaya hidup, langkanya barang-barang kebutuhan dan ketakpastian masa depan. Apakah mereka mampu memberdayakan diri untuk–dengan penuh nyali dan kompetensi–menghadapi tahun dimana politik dan kekuasaan sedang jadi fokus perhatian?

Resolusi 2024 boleh saja dicatat dengan kata-kata indah. Doa bisa saja dirajut sepenuh makna. Tetapi semua kembali ke diri kita, apakah kita bermental pemenang atau pemenang. Mental pemenang itu selalu melakukan pembuktian, sedang mental pecundang selalu menunggu pembuktian. Selamat Tahun Baru 2024 semoga berkah dan nikmat senantiasa kita dapat. Aamiin

Ksatrian Sendaren 1 Januari 2024
*Budayawan

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co