Orang tak akan belajar sejarah kalau tak ada manfaatnya. Tidak saja bisa menyibak kisah masa lalu leluhurnya atau menentukan posisi kehidupannya dalam rentang panjang kehidupan masa kini dan masa depan, orang belajar sejarah karena bisa mengambil ilmu dan pengetahuan darinya.
Menekuni pekerjaan yang bagi anak muda zaman sekarang seperti bayangan kisah silam saja. Dia bangga menyebut aktifitas dan rumahnya dengan Agni Metal Art. Tak jauh dari dunia besi memang, tetapi beragam karyanya yang telah menjelajahi berbagai kawasan, juga berkaitan dengan kayu dan segala pernak-pernik seninya. Mei Anjar Wintolo, ayah muda dengan dua anak perempuan ini, mampu menjaga dapurnya tetap mengepul dengan pekerjaan yang dia senangi sedari kecil.
Di rumahnya yang sederhana di dukuh Seyegan, Margokaton, Seyegan, Sleman, ramah dan ceria dia menyambut mabur.co, Sabtu (5/10/2024) siang. Tetapi jangan tanya bagaimana sikapnya jika sudah menyangkut sejarah. Dia akan serius, cenderung disiplin dan keras dalam memegang etika keilmuan sejarah. Apakah dia alumni jurusan sejarah? Bukan. Dia bukan lahir dari kalangan perguruan tinggi.

Jika Anjar, begitu akrab disapa, memiliki komitmen dan kepedulian tentang sejarah, itu karena ngleluwuri leluhurnya.
“Leluhur kami bukan nasab priyayi apalagi bangsawan. Akan tetapi leluhur saya sangat diperhitungkan di dalam kemasyarakatan Gunung Kidul pada masa lampau. Simbah Yosorejo, salah satu dzuriyah Kyai Joto. Beliau adalah kakek dari Demang Wonopawiro dalam legenda Nangka Doyong. Akan tetapi Kyai Joto sama sekali bukan dari golongan atas, hanya seorang petani, juru kunci, dan penakhluk danyang yang babat alas Wonosari pertama kali. Simbah saya yang tinggal di Payaman sudah jualan bakmi Jawa dengan cara dipikul berkeliling Yogyakarta saat Jumenengan Ngarsa Dalem IX”, ungkapnya di akunnya penuh bangga.
Kecintaan dan kepedulian pada aspek dan ilmu sejarah, menurut sejarawan UGM Kuntowijoyo, bisa disebabkan kedekatan intelektual karena mengenyam pendidikan sejarah, bisa juga dipengaruhi kedekatan emosional karena lingkungan yang sejak dini dekat dengan kesejarahan. Anjar nampaknya lebih condong yang kedua. Kisah sejarah yang masuk indera dan menancap di kesadarannya mendorongnya untuk peduli pada sejarah.
Secara mandiri dia menelusuri sejarah dusun, kampung dan desanya dimana dia tinggal. Sedikit demi sedikit sumber, baik lisan maupun tertulis, dia kumpulkan. Tak jarang memberikan masukan kepada para dukuh atau lurah dalam jangkauannya. Dalam beberapa hal dia keras dalam mengambil posisi terutama bila menyangkut upaya mengangkat sejarah. “Ampun waton Pak, manawi mboten wonten sumber sejarahipun ampum damel sejarah enggal. Rusak mangke”, kisahnya saat bertemu seorang tokoh yang ingin membuat karya berbasis sejarah.

Upaya untuk terus belajar dan mempelajari sejarah juga dia lakukan di Komunitas Kandang Kebo. Di tempat ini dia bisa mengasah kemampuan dan pemahamannya tentang beragam aspek kesejarahan. Mulai nisan, makam, lingga, yoni, candi, sendang (mata air) sampai soal toponimi. Kadang dilakukan sendiri, kadang bersama teman, atau bersama anggota Komunitas Kandang Kebo.
Lalu apa yang didapat Anjar dari belajar sejarah bagi kehidupannya? Ada kebanggaan pada leluhur yang itu menginspirasi kehidupannya. Termasuk kelihaiannya membuat beragam senjata, pisau, gelang, pipa rokok sampai ketapel, bahan yang dia pakai bukan asal-asalan. Sering ada narasi sejarah yang menyertainya.
“Tanpa keberadaan leluhur kita tak akan pernah ada. Jangan meninggalkan dan menyepelekan leluhur kita. Darah mereka mengalir dalam diri kita. Jangan melupakan dan mengingkari darah”, pesan pungkasnya yang menyembulkan bara.
(*)



