Membaca Jeweran Agus Nuryanto Melalui Lukisan Wayang

Oleh: Wahjudi Djaja*

Sebagai sebuah produk budaya, wayang memiliki catatan sejarah yang panjang. Ada yang mencatat periode Klasik (Hindu-Buddha) sebagai titik tolak, lalu mengalami transformasi fungsi pada periode Islam. Lebih dari sekedar sebuah karya seni, wayang menyelipkan berbagai nilai, religi, simbol, dan mitos yang dekat dengan kehidupan manusia.

Wayang kulit–salah satu genre wayang–dihidupkan oleh seorang dalang dengan berbasis pada narasi, pakem dan alur dengan kandungan nilai tertentu. Dua sisi wayang yang berjajar di kelir di depan dalang, menjadi hidup dengan keberadaan blencong, lampu yang identik dengan matahari, dan niyaga sebagai dinamisator irama kehidupan. Kisah hidup manusia yang dimanifestasikan dalam lakon wayang dinikmati dari balik kelir. Itulah sebabnya wayang sejatinya pantulan aktifitas manusia.

Agus Nuryanto, seorang pelukis alumni SMSR dan STSI Solo, mencoba mengambil wayang sebagai media transformasi nilai. Pesan-pesan yang dia dapat dari kehidupan, divisualisasikan ke atas kanvas dengan model wayang menjadi beragam jenis lukisan. Ini memerlukan keberanian dan ketelitian. Secara estetis akan dihadapkan pada teknik melukis, secara filosofis harus paham benar dengan karakter masing-masing wayang yang dijadikan model, secara antropologis dia harus mampu mencerna dinamika kehidupan agar tepat dalam membaca realita dan menyajikan pesan.

Setiap tokoh wayang, dari kepala sampai kaki termasuk pusaka dan warna yang tertera, memiliki makna tersendiri. Dalam kosmologi Jawa, hawa nafsu manusia bisa dilambangkan dengan warna. Misalnya nafsu amarah dengan warna merah, nafsu lauamah dengan warna hitam, nafsu supiyah dengan warna kuning, dan nafsu mutmainah dengan warna putih. Menarik untuk melihat bagaimana Agus Nuryanto memberi tafsir atas pesan yang akan dia sampaikan dan model wayang yang dia pilih.

Wayang Jewer yang dia maksudkan sebagai karakter karya, bisa dimaknai perluasan makna simbolis. Dia bisa saja memilih adegan atau model wayang, tetapi ada pakem yang harus dijadikan pertimbangan. Kemerdekaan dan kebebasan adalah naluri semesta yang dimiliki seniman, tetapi sejauh mana pelukis mampu memindahkan realita kehidupan ke dalam media seni yang–kebetulan–berbasis pada aspek simbolis, merupakan tantangan tersendiri. Ini penting menjadi catatan agar karya lukis tak hanya asal tempel atas beberapa model wayang dengan konteks kekinian.

Untuk sampai pada tahap itu memang sangat diperlukan perenungan, kontemplasi dan pelibatan aspek batiniah. Semakin mendalam seseorang melakukan kontemplasi atas dinamika dan beberapa fenomena dalam hidup, semakin kuat dan keras pesan yang bisa disampaikan. Kreatif bagi seorang seniman adalah keharusan, tetapi dia tak boleh reaktif. Perlu pengendapan agar karyanya berkarakter dan memiliki kekuatan. Karena dari situlah, kita–sebagai penonton dan penikmat–akan menemukan keterhubungan, makna dan pelajaran. Karya yang mampu mendorong orang lain melakukan penyadaran diri dan kontemplasi, merupakan karya yang hidup.

Pelukis kelahiran Kulon Progo pada 1970 ini akan menggelar pameran tunggal di Tembi Rumah Budaya Bantul 4-9 Januari 2024. Temanya Wayang Jewer Plus. Keinginan untuk selalu melakukan tafsir ulang atas karya tentu akan membuka dinamika dan kreatifitas. Dialektik inilah yang menjadi kunci dan bara dunia seni. Seni adalah proses pencarian bentuk yang tiada henti. Selamat berpameran, berkah dan sukses selalu.

Ksatrian Sendaren, 4 Januari 2024
*Budayawan

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co