Oleh: Wahjudi Djaja*
Sudah 11 tahun keistimewaan Yogyakarta memperoleh legitimasi melalui pengesahan UU Nomor 13 Tahun 2012. Ada lima kewenangan yang diberikan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta: tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; Kebudayaan; Pertanahan dan Tata Ruang.
Terkait kebudayaan, tentu perlu perhatian serius agar bisa tumbuh kembang menjadi karakter warganya. Lebih dari sekedar pentas seni atau kirab budaya, ada bidang yang selama ini nyaris tak mendapat porsi yang memadai, yakni terkait pendidikan atau pawiyatan. Bagaimana strategi yang harus diterapkan agar anak-anak generasi penerus Yogyakarta bangga dan cinta pada budayanya?
Fenomena yang terjadi terkait kebudayaan antara lain adalah lemahnya pemahaman peserta didik tentang ruh Yogyakarta. Kurikulum yang dipakai memang memberi ruang untuk masuknya lokalitas. Tetapi itu belum cukup memberikan sinyal munculnya menguatnya identitas Yogyakarta. Selama anak-anak masih dihantui ketakutan tidak bisa masuk sekolah favorit, yang konsekuensinya hanya fokus pada mata pelajaran yang di-UAN-kan, maka budaya dianggap bukan sesuatu yang penting.
Di situlah letak pentingnya kita mendesain Kurikulum Keyogyakartaan. Di dalamnya harus dimasukkan unsur kesejarahan, tradisi budaya, tokoh sejarah dan identitas Yogyakarta. Itu harus masuk dan diajarkan pada anak didik sejak TK/PAUD sampai sekolah menengah atas. Mengapa? Kita perlu membekali anak dengan muatan lokal sebagai bekal sekaligus penanaman jatidiri sebelum mereka memperoleh pengayaan yang lebih luas.
Di dalam Kurikulum Keyogyakartaan setidaknya kita bisa mengenalkan anak pada tiga hal yang nyaris hilang. Ketiganya adalah basa (bahasa), busana (pakaian adat) dan asma (nama khas). Tiga hal itu krusial diajarkan dan diterapkan pada anak sedini mungkin agar mereka memiliki dasar budaya yang kuat.
Bahasa Jawa jelas semakin ditinggalkan banyak orang tua. Sedari lahir mereka telah diajak menggunakan Bahasa Indonesia. Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu jarang diterapkan dalam komunikasi intim sehari-hari. Bisa dicek, nilai Bahasa Jawa anak kebanyakan jatuh karena dianggap sulit. Ini sungguh ironis. Anak-anak yang kita harapkan sebagai pewaris budaya ngayogyakartan justru kesulitan berbahasa Jawa.
Pakaian adat gagrak Ngayogyakarta pun semakin jarang dipakai. Selain upacara adat seperti perkawinan atau selapan sekali tiap Kamis Pahing, kita sudah jarang memakainya. Ada gejala yang memprihatinkan. Memakai busana Jawa tetapi dengan pasangan yang tidak pas. Pakai surjan tetapi bawahnga dengan celana dan sepatu. Lalu dari mana anak-anak akan tahu busana Jawa gagrak Ngayogyakarta yang benar?
Anak-anak lahir di zaman milenium baru. Nama-nama khas Jawa terasa asing atau malah malu bagi orang tua untuk memberi nama pada anaknya sesuai karakter Jawa. Tentu tidak ada yang melarang. Tetapi perlu juga dipikirkan bagaimana anak paham dengan nama-nama khas Jawa yang sarat makna. Ini bisa dimulai dari nama leluhur, kakek nenek atau tokoh yang ada dalam sejarah.
Kurikulum Keyogyakarta juga harus memasukkan unsur seni tradisi (gamelan, karawitan, macapat, geguritan) dan beragam serat, kitab atau babad yang menjadi koleksi museum. Menyimpan dan memelihara tentu baik, tetapi membuka isinya lalu memindah bahasakan ke dalam bahasa Indonesia untuk.dijadikan buku pengayaan bagi anak didik tentu lebih mulia. Kita tidak ingin memiliki generasi muda yang tak memiliki akar budaya sehingga terombang-ambing budaya asing.
Dalam konteks itu guru perlu memerankan diri sebagai pamong seperti metode yang telah dibakukan oleh Ki Hajar Dewantara. Guru lebih teknis pedagogik, sedangkan pamong merupakan penjelmaan orang tua, motivator dan transformator yang memandu, membimbing dan mencarikan jalan bagi tumbuh kembang anak.
Apakah itu semua bisa diterapkan dan dilakukan di dunia pendidikan Yogyakarta? Status dan kedudukan istimewa dan diberlakukannya Kurikulum Merdeka jelas membuka peluang besar untuk penerapan Kurikulum Keyogyakartaan. Semua tergantung niat dan kemauan kita saja. OPD terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan, Dinas Pariwisata dll perlu berkolaborasi secara serius untuk merealisasikannya.
Kebudayaan itu soal ruh kehidupan, berdurasi jangka panjang. Jangan sampai kedudukan sebagai daerah istimewa justru tidak didukung dengan strategi pendidikan yang benar sehingga anak-anak mengalami disorientasi kepribadian. Jika ini yang terjadi, sungguh sebuah ironi besar dalam kebudayaan.
Ksatrian Sendaren, 23 November 2023
*Dosen STEI Pariwisata API Yogyakarta, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama).



