Oleh: Prof Dr Masduki MSi*
Menulis adalah melukis cerita lewat kata untuk mengabadikan sepenggal kisah. Menulis bukan sekadar agar dibaca. Tulisan adalah bentuk lain dokumentasi hidup. Dan jejak digital akan membuatnya abadi, mengelana, menyapa siapapun, dimanapun. Lebih dari sekadar hobi, mengisi leisure time, menulis bisa menjadi ‘art of social advocacy,’ sekaligus klarifikasi-branding atas stereotype pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Menulis adalah mengisi ruang publik, laku spiritual, emosional dan sosial sekaligus. Maka, menulislah, tentang apapun. Sebagai ‘temporary Singaporean‘ pengalaman hidup, bekerja dan survive di Negeri Jiran akan selalu menarik dan penting bagi orang Indonesia. Juga ia semacam ‘laporan langsung’ bagi otoritas Indonesia agar peduli warganya.
**********
Hingga tahun 2023, ada 250 ribu lebih pekerja migran Indonesia di Singapura. Mereka tersebar di beragam sektor, dari pekerja rumah tangga hingga industri yang menopang pariwisata negara kota ini. Nah, di tengah tumpukan pekerjaan domestik yang tak ada habisnya, menggoreskan pena ke atas kertas sejenak adalah ‘kemewahan’ bagi mereka. Tapi ini bukan tidak bisa dilakukan. Pasti bisa.
Dalam acara klinik singkat bertajuk “Cerdas Menulis Opini di Media”, 12 Mei 2024 lalu di KBRI Singapura, saya sampaikan bahwa, menulis itu hanya perlu ide kecil, data pengalaman sehari hari, lalu waktu dan hati yang senang. Pengalaman membaur dengan Singaporean, menikmati udara bersih dan taman kota yang berkelas adalah mimpi banyak orang. Di balik ratusan gedung pencakar langit yang angkuh itu, perjuangan hidup pasti berlangsung ‘penuh warna’. Tulislah! Ungkapkan beragam emosi yang muncul, agar tulisan lebih bertenaga.

Sesi sharing sekitar dua jam di ruang Adinata KBRI Singapura itu berlalu sangat cepat. Tak ada teori. Saya cuma cerita bagaimana buku saya berjudul: Dari Munich ke Cologne (2023) lahir. Buku ini ‘cuma’ terbentuk dari kumpulan catatan catatan lepas, status Facebook, dll.
Diselingi humor dan pantun spontanitas, semua peserta menyimak dengan serius, membuat saya terharu dengan antusiasme 30 lebih peserta. Mereka profilnya sangat kuat: buruh migran, tetap mengurus keluarga, dan–ini yang penting–tetap menyempatkan waktu kuliah sarjana S1 di UT, mulai pukul 9 malam.
Dan hari itu Minggu 12 Mei jam 10.00 sampai 12.30 mereka meriung di kompleks Kedubes di kawasan elit Chatsworth Road 7. Mungkin agar kompak: mereka semua memakai seragam mahasiswa. Dan tampak bahagia.
Sudah jam 12.30 waktu Singapura. Sesi berbagi itu terpaksa harus diakhiri, sebab ini memang baru semacam ‘warming up’. Kami bersepakat melanjutkan sharing dan writing development via online. Saya memandu dari ‘Lereng Merapi Yogya’, para peserta follow dari balik ratusan gedung yang meliuk dan atau di balik pintu rumah-rumah yang tertutup di Singapura. Diskusi juga berlanjut di grup WA.
Rencananya kami akan bertemu offline lagi di Singapura untuk peluncuran buku hasil kursus menulis ini. But, kita lihat nanti, tentunya.
Terimakasih kepada DPPM UII selaku sponsor kegiatan. Apresiasi tinggi untuk sahabat saya Atdikbud KBRI Singapura Bli IGAK Satria Wibawa untuk segala hospitality, pengalaman singkat yang mengharukan. Ini jadi moment kunjungan Singapura yang berbeda, selain tentu wajib ke kawasan Orchard Road dan menikmati segelas kopi di kedai Killiney pertama yang legendaris di Killiney road.
Lereng Merapi Yogya, 18 Juni 2024
*Seorang Penulis, Anggota Pen Club Indonesia, Guru Besar Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII)



