Menyingkap Sejarah HM Roesdi dari Foto Lama

Oleh: Achmad Charris Zubair*

Pada saatnya, foto berarti revolusi. Ini Bung Hatta yang berkata. Dengan mengamati foto–dari waktu ke waktu–kita akan menemukan tidak saja benang merah sejarah, tetapi juga perubahan yang dahsyat dalam kehidupan. Tidak saja perkembangan tubuh manusia, kita juga bisa mengamati gaya busana, bentuk rumah, lingkungan dan kebudayaan.

Foto Sebagai Pembuka Sejarah

Foto di atas sudah berusia hampir 100 tahun yang lalu, dari ibu kandung saya–Ibu kami lahir 1920–bersama 12 bersaudara. Itu putera-puteri Hoofd Penghoeloe Bandoeng Prijangan tahun di tahun 1926. Tentang RH M Roesdi beliau menjabat Hoofd Penghoeloe Atjeh (1896-1909), Hoofd Penghoeloe Tasikmalaja (1909-1918) dan Hoofd Penghoeloe Bandoeng (1918-1925). Secara pribadi saya adalah cucu RH M Roesdi dengan RHj Siti Patmah dari garis ibu saya. Tentu kalau ada anak keturunan Toeankoe Ibrahim dan diijinkan oleh Allah kami ingin menjalin tali silaturahmi.

Kakek kami, HM Roesdi, adalah Hoofd Penghoeloe Prijangan dan pernah ditugaskan di Aceh. Berdiri di belakang dari kiri: Mahya sulung saudara satu ayah lain ibu, Ny Mahya dan Mohammad Amin saudara satu ibu lain ayah.

Pada saat itu HM Roesdi duda berputera satu, menikah dengan Hj Fatmah janda berputera satu juga. Berdiri urut dari paling kiri ke kanan, dari paling besar ke yang terkecil, adalah saudara sekandung putera puteri HM Roesdi dengan Hj Fatmah dari Tasikmalaya.

Tahya, Ahya, Juwita, Hayatul Ain, Ainul Hayat (memakai pita di rambut, ibu kami), Wahyu, Hamisah, Muhayan, Fuad, Misriyah.

Aceh – Bandung Dalam Ikatan Sejarah

Sesudah berabad berdaulat, Sultan Aceh terakhir, Tuanku Muhammad Daoed Sjah (1874-1904) menyatakan takluk kepada penjajah Belanda. Sebagaimana surat pernyataan takluk yang termuat dalam Bataviaasche Nieuwsblad 25 Maret 1903.

“Maka oleh sebab itoe telah saija datang di bandar Koeta Radja hendaq mengadap dan menjerahkan badan diri kebawah doeli seri padoeka toean besar.
Maka oleh sebab itoe dengan soenggoeh sesoenggoehnja mengakoelah saija bahwa daerah tanah Atjeh serta taaloeq djadjahannja djadi soewatoe bahagian daripada Hindia Nederland maka taaloeqlah negeri Atjeh kepada keradjaan Blanda”

Laporan Pikiran Rakyat 10 Juli 2017

Belanda sangat licik ketika terjadi perang Aceh 1873-1912. Pasukan marsose yang dipimpin K van der Maaten menyandera permaisuri Sultan yakni Pocut Murong dan putera mahkota Tuanku Ibrahim di Laam Meulo Pidie 25 Desember 1902.

Gubernur Jenderal Van Heutz mengancam kalau dalam waktu sebulan tidak menyerah maka permaisuri dan putera mahkota akan dibuang bahkan dibunuh. Akhirnya, Sultan Daud menyerah 10 Januari 1903 dan menulis surat menyerah 14 Januari 1903.

Penyanderaan permaisuri dan putera mahkota atas saran Snouck Hurgronye. Sebelumnya, Snouck juga yang menyarankan agar istri dan anak-anak Teuku Meuntroe Garòt, seorang panglima Teuku Umar, disandera. Sampai dia menyerah 18 Agustus 1896.

Raden Haji Muhammad Roesdi yang waktu itu menjadi Hoofd Penghoeloe Atjeh diminta untuk menjemput putera mahkota untuk dibawa ke Batavia. RH M Roesdi bersama kedua istrinya dengan kapal “Both” menuju Aceh melalui rute Kalianda, Teluk Betong, Kroe, Bengkoeloe, Padang, Atjeh. Sultan Aceh sendiri Toeankoe Daoed Sjah sudah diasingkan di Batavia dan dikucilkan di kawasan Pintoe Besi.

Selama di Batavia komunikasi antara Sultan dan putera mahkota bisa berlangsung. Toeanku Ibrahim yang waktu itu masih berusia 10-12 tahun dan ditemani Teoekoe Mohammad Ali Pakeh Pidie sampai di Batavia bersama RH M Roesdi 22 Maret 1903.

Putera mahkota akhirnya ke Bandung dan bersekolah di sana. Sampai akhirnya Belanda membuat keputusan 15 Maret 1908 yang–karena alasan tata tertib umum–melarang putera mahkota Aceh tinggal dan sekolah di Bandung.

Dalam catatan buku MOSVIA 1879-1929 uit gegeven ter herdenking van het 50 jarig bestaan der Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaar te Bandoeng di th 1929 sudah meluluskan 883 murid. Toeankoe Ibrahim dan Teoekoe Mohammad Ali Pakeh terdapat di urutan 377 dan 378.

Walaupun sudah dilarang tinggal di Bandung, tetapi dari sejak larangan diberlakukan, Toeankoe Ibrahim masih tinggal di Bandung dua tahun sesudahnya. Sehingga total tinggal di Bandung selama 7 tahun dan selama itu dekat dengan keluarga RH M Roesdi.

Hijrah dan Menikah

Pada masa 1948 ketika ada peristiwa yang dikenal dengan Bandoeng Laoetan Api, Ibu mengungsi ke Yogyakarta, bersama kedua kakaknya, Mahya dan Tahya. Tahya adalah teman sekolah Sri Sultan Hamengku Buwono IX waktu di HBS Bandung. Karena beliau teman Sultan maka boleh tinggal di salah satu bagian keraton.

Di Yogyakarta-lah ibu dipertemukan dengan ayah kami, H Zubair Muhsin, dari Kotagede. Mereka kemudian menikah dan lahir kami enam bersaudara. Ibu dan Ayah menikahnya di Pracimasono Keraton Yogyakarta. Bahkan isteri Uwa kami Ny Mahya, wafat di Kotagede dan dimakamkan di makam keluarga Boharen tahun 1949.

Foto ini memang merupakan foto keluarga, tapi bersifat publik. Untuk mengingatkan saya bahwa hidup ternyata adalah sesuatu yang tak sepenuhnya dijalankan atas keputusan manusia. Ada keniscayaan, ada “tangan tersembunyi” yang menggerakkan, ada takdir yang tak terèlakkan. Juga mengingatkan, betapa fana hidup dan kehidupan manusia di dunia ini.

*Budayawan, tinggal di Kotagede

Sumber:
Pikiran Rakyat 10 Juli 2017
Penjaga Api Sejarah (Biografi Achmad Charris Zubair)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co