Musik dan Pembentukan Karakter Bangsa

Oleh: Wahjudi Djaja*

Hari Musik Nasional 2024 mengangkat tema “Merdeka Berbudaya Memajukan Musik Indonesia”. Sulit dipahami apa makna frasa “merdeka berbudaya”. Dua hal yang bisa dilihat saling bertolak belakang. Merdeka bisa merujuk pada pembebasan dari sekat tradisi dan westernisasi, berbudaya lekat dengan kembali atau menjaga etika moralitas yang ada dalam kehidupan. Jika alas faktual diresmikannya Hari Musik Nasional adalah 9 Maret–dari momentum kelahiran WR Supratman–maka ada sisi nasionalisme yang tak boleh ditinggalkan.

Lagu Nasionalis vs Lagu Politis

Ada sebuah video di Tiktok memuat nasib para pekerja di sebuah pulau. Dibentak-bentak oleh pekerja asing. Di negara sendiri, bekerja demi mengisi hari, tetapi justru tak dihargai oleh orang asing yang datang tanpa permisi. Backsound yang digunakan adalah lagu Tanah Airku karya Ibu Sud. Tanah airku tidak kulupakan. Kan terkenang selama hidupku. Biar pun saya pergi jauh. Tidak kan hilang dari kalbu. Tanahku yang kucintai. Engkau kuhargai. Apa yang terbahasakan dari content itu?

Bandingkan dengan peristiwa 28 Oktober 1928. Di sebuah ruangan. Para pemuda berkumpul dalam suasana penjajahan. Mereka berikrar bahwa keindonesiaan menjadi identitas bersama yang mengatasi sekat etnik primordialisme. Merah putih dijadikan hiasan dekorasi. Sedang seorang violis, WR Supratman, hanya memainkan lagu Indonesia Raya dalam irama instrumentalia karena di sudut ruangan polisi Belanda berjaga-jaga.

Pada 1931 WR Supratman menciptakan lagu Di Timur Matahari, sebuah pesan dan respon atas pelaksanaan Sumpah Pemuda 1928. Meskipun singkat, isinya sungguh menggugah kesadaran berbangsa. Di timur matahari mulai bercahya. Bangun dan berdiri kawan semua. Marilah mengatur barisan kita. Pemuda pemudi Indonesia.

Penulis di rumah WR Supratman di Somongari Purworejo

Jika nasionalisme, seperti kata Otto Bauer, adalah persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib, maka upaya untuk merajut dan menggugah perasaan itu antara lain disemai di dalam lagu-lagu gubahan para musisi pejuang. Catat misalnya lagu Bangun Pemudi Pemuda (A Simanjuntak), Maju Tak Gentar (C Simanjuntak), Satu Nusa Satu Bangsa (L Manik), Indonesia Pusaka (Ismail Mz), Bagimu Negeri (Ibu Sud), Rayuan Pulau Kelapa (Ismail Mz), Garuda Pancasila (Sudharnoto) atau Kebyar Kebyar (Gombloh).

Bukan hanya karena memuat pesan perjuangan, kesadaran nasional dan persatuan sehingga beberapa lagu di atas disebut lagu perjuangan. Dalam penciptaannya juga memerlukan perjuangan dan dilakukan pada masa perjuangan. Ada sesuatu yang disuarakan, ada nilai yang diperjuangkan. Itulah salah satu strategi membangun karakter bangsa. Berjuang dengan senjata dan organisasi lebih diorientasikan pada kemerdekaan raga, sedang jiwanya antara lain diisi dan diperkukuh dengan musik dan lagu-lagu perjuangan.

Nasionalisme melegitimasi dan mengukuhkan ikatan tanah, air dan manusia menjadi satu kesatuan. Saat terjadi salah urus atau bencana dan derita, kesedihan tentu memantik empati. Itulah kenapa Ismail Mz menggubah lagu Ibu Pertiwi. Hutan gunung sawah lautan. Simpanan kekayaan. Kini ibu sedang susah. Merintih dan berdoa.

Cukup beralasan jika kemudian lagu itu dijadikan legitimasi salah satu kontestan Pilpres 2004. Keinginan melakukan koreksi dengan menggunakan lagu sebagai pijakan moral tentu boleh dan sah-sah saja. Juga pada pilpres periode berikutnya, lagu-lagu perjuangan diberi muatan politis bahwa apa yang diperjuangkan adalah amanat sejarah pada pendiri bangsa.

Pembentukan Karakter

Jika Bung Karno menegaskan program nation and character building, atau kemudian diterjemahkan pemerintah sebagai program pendidikan karakter, peran musik dan lagu bertema perjuangan dan nasionalisme tentu menjadi bagian penting. Sayangnya, penghayatan atas lagu-lagu tersebut semakin kering imaji. Orang lebih suka memegang hand phone untuk mengabadikan momen kenegaraan dibanding bersikap sempurna mendengar sampai usainya lagu. Tak ada sakralisme ketika diperdengarkan lagu perjuangan.

Basis utama pendidikan karakter–terutama untuk bangsa dengan sifat paternalistik yang masih kuat bercokol–ada pada sikap dan keteladanan para pemimpinnya. Upacara kenegaraan tak ubah seperti fashion show dimana penampilan fisik lebih diutamakan meski demi dan atas nama kebhinekaan. Fokus dan tema utama pembentukan karakter pun pelan-pelan luntur seiring polarisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangankan lagu nasonal sedangkan sila-sila Pancasila pun semakin sulit dihapalkan dan dihayati.

Bangsa ini sedang di ambang simpang jalan. Jika ruh kebangsaan semakin pudar, entah apa lagi yang bisa merekatkan kohesi sosial kita. Semoga bangsa besar dengan budaya yang elok ini masih memiliki elan vital perjuangan.
Merdeka!!

Ksatrian Sendaren, 9 Maret 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama).

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co