Sembilan Windu Nasir Tamara Menyisir Makna

Oleh: Wahjudi Djaja*

Kesuksesan kadang dimulai dari keberanian kita untuk melangkah dan mengarungi samudera. Perantauan, demikian frasa yang sering dianggap cocok diterakan, tak hanya menyangkut raga atau fisik. Ia juga berkaitan–dan ini jauh lebih mendasar–dengan mental, intelektual bahkan spiritual. Menatap pulau dimana kita dilahirkan dari atas kapal untuk menuju pulau harapan sering memantik kesadaran dan tanggung jawab moral bagi hidup dan perjalanan kita.

Berani melepaskan ikatan penuh kehangatan keluarga di Teluk Betung Lampung untuk menuju Jakarta selepas SMP adalah langkah bersejarah. Ia menjadi momentum. Langkah yang kemudian mampu membuka pintu-pintu bagi perjalanan pada etape berikutnya. Ada bara di sana. Ada ketekunan yang menyerta. Ada semangat pantang untuk pulang sebelum cita-cita dan gelar disandang. Karakter inilah yang menjadi pembeda, bahwa merantau adalah jembatan kemajuan.

Lahir pada 4 Januari 1951, Nasir Tamara, seolah menjalani hidup bertumpu pada letupan-letupan momentum. Andai tidak merantau ke Jakarta, kecil kemungkinan bisa melompat ke Prancis. Andai tidak lihai melihat momentum di Prancis, mustahil bisa terbang ke Teheran bersama Ayatullah Khomeini–perjalanan bersejarah menjelang Revolusi Iran yang mendorongnya menulis karya masterpiece–dan menjadi tokoh di dunia jurnalistik dan intelektual sekaligus. Berpuluh tokoh dunia telah diwawancarainya. Andai tak menjadi intelektual kecil kemungkinan dilihat BJ Habibie yang menempatkannya sebagai anggota Dewan Riset Nasional dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia di sekitar era Reformasi. Andai tidak taktis dalam melihat peluang, tak mungkin mendirikan koran Republika dan Global TV. Andai tidak cermat melihat potensi, peluang dan jaringan, mustahil menginisiasi Kongres Persatuan Penulis Indonesia yang membawanya menjadi Ketua Umum Satupena periode pertama.

Hidup tentu bukan sebuah kebetulan, tetapi tak ada yang kebetulan dalam hidup. Ada tiga hal yang bisa saya petik dari sepenggal perjalanan hidup Bang Nasir. Niat, yakin, berani. Sekali niat sudah diucapkan, pelihara dengan keyakinan, dan segeralah membumikan dengan penuh keberanian. Selebihnya, ruang dan waktu akan memberikan merespon dan membukakan momentum.

Memiliki kemauan keras, berpikir global–menguasai beberapa bahasa asing dan melanglang buana ke penjuru dunia–tetapi consern pada lokalitas, menjadikan spektrum persahabatannya luas. Tidak saja para penulis level dunia tetapi juga kalangan seniman, politisi, akademisi, sampai penyair. Sebuah rumah klasik yang dibangun abad XIX di jantung peradaban Mataram Kotagede dibelinya selepas rusak terkena gempa. Rumah itu–Ndalem Natan–kini menjadi oase budaya di tengah kian maju dan berkembangnya Yogyakarta. Di rumah ini, beragam tokoh dalam dan luar negeri, berbagai event budaya dan seni, diberi ruang yang cukup untuk saling berdiskusi, berekspresi dan mengapresiasi.

Hidup adalah bagaimana memainkan momentum dan bertransformasi di dalamnya. Setidaknya itu catatan penting yang muncul saat melihat perjalanan tokoh yang akrab saya panggil Bang Nasir Tamara ini. Mungkin masuk dalam klasifikasi manusia ulang alik dalam bahasa Umar Kayam. Manusia yang tak pernah berhenti melakukan transformasi. Jika kini Bang Nasir dikenal sebagai seorang maecenas, pahamlah kita.

Seorang Nasir Tamara tak pernah berhenti menyisir makna. Letupan-letupan yang muncul dalam dalam dinamika hidup direspon dan direnungkan betul untuk–kemudian–dikembalikan dalam gerakan kebudayaan, entah dalam bantuk tulisan, buku, diskusi atau pertunjukan. Dalam rentang panjang perjalanan hidup tokoh besar yang rendah hati ini, saya bersyukur bisa diterima dengan penuh kehangatan.

Selamat ulang tahun Bang, semoga panjang usia penuh berkah dan makna. Aamiin

Ksatrian Sendaren, 4 Januari 2024
*Anggota Pen Club Indonesia Yogyakarta

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co