Pagi cerah awal pekan, Senin (5/2/2024) diisi mahasiswa STIE Pariwisata API Yogyakarta dengan bercengkerama di pantai Kuta. Sambil relaksasi mereka mempelajari bagaimana sebuah potensi diubah menjadi destinasi dengan tidak melupakan akar tradisi.
Jejak sejarah Kuta telah terbentang lama. Konon Mahapatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit mendarat bersama pasukannya di pantai ini pada abad XIV M sekitar tahun 1334. Perlahan, tempat ini berkembang menjadi pelabuhan dan pusat aktivitas perdagangan Bali sisi selatan. Bahkan para raja Bali berinteraksi dengan para pedagang mancanegara di kawasan ini. Transformasi terjadi dan Kuta berkembang sebagai salah satu kota pesisir. Maskapai dagang Belanda Nederlandche Handel Maatsschappiy (NHM) berdiri di kawasan ini pada 1839.
Pantai Kuta kemudian berkembang pesat menjadi maskot wisata Bali. Berwisata ke Pulau Bali tanpa sempat menikmati keindahan sunset Pantai Kuta bagaikan makan tanpa garam. Beragam penginapan sampai hotel berbintang berdiri di kawasan Kuta. Tentu dengan tetap memperhatikan karakter lokalitas yang berbasis ruh budaya. Kawasan pantai yang terletak di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung ini telah menempatkan diri sebagai destinasi unggulan sejak era 1970.

Dalam pandangan Wahjudi Djaja MPd, salah satu dosen STIE Pariwisata API Yogyakarta yang mendampingi benchmarking ke Bali, pola dan pengembangan potensi pantai Kuta bisa dijadikan pelajaran bersama. “Armada bus tak boleh masuk kawasan Kuta. Artinya, ada manajemen yang direncanakan untuk memberdayakan moda angkutan lokal. Ini pola kolaborasi yang baik untuk meningkatkan pendapatan warga, sekaligus mengurangi polusi dan kemacetan. Tidak seperti banyak pantai yang membolehkan bus masuk sampai ke sisi bibir pantai, ada political will untuk membumikan ajaran Tri Hita Karana (parahyangan, pawongan, palemahan)”, tuturnya.
Lebih jauh dari itu, lanjut budayawan peraih Anugerah Kebudayaan Sleman 2023 ini, penataan pramuwisata berbasis kompetensi, pengemudi moda angkutan yang terjaga ramah, berpadu dengan lanskap dan tata ruang kawasan Kuta. “Karakter wisata Bali sangat jelas. Berakar kesadaran budaya para pelaku dan warganya, dikelola dengan falsafah hidup yang baku dan dipatuhi, serta adaptif pada dinamika perkembangan zaman”, pungkasnya.
Dalam pantauan mabur.co, para mahasiswa STIE Pariwisata API Yogyakarta yang menjalani benchmarking terlihat menikmati susana pantai yang berpasir lembut ini. Tidak canggung mereka bertanya kepada pramuwisata atau penjaga pantai. Kuta, destinasi generasi pertama yang sempat down akibat bom Bali 2002 dan pandemi Covid-19, kini telah bersinar kembali.
(*)



