Ninda Nindiani Karisa: Suara, Bahasa dan Sastra yang Terjaga

Oleh: Wahjudi Djaja*

Nama yang tak asing bagi generasi 90-an. Bagi pendengar setia radio Geronimo, mendengarnya adalah sebuah persenyawaan diantara ruang dan waktu yang tak pernah hilang. Renyah suara dalam tatanan bahasa yang teranyam indah, memantul dari dinding ke dinding. Apalagi diselingi lagu-lagu memories, seakan memenuhi ruangan kamar kos. Yogyakarta memang kental nostalgia.

Belum hilang suara dari indera, wajah cantiknya nongol di layar kaca. TVRI Stasiun Yogyakarta, kala itu, memang menjadi media yang ramah dengan siapa saja, dari kalangan mana saja. Kalangan rakyat pedesaan tentu tak pernah lupa hari dimana sayembara ketoprak ditayangkan. Para siswa hapal kapan jam tayang Tanah Merdeka, sebuah acara yang sangat mendidik jiwa kebangsaan. Dan sebagai kota budaya dengan berpuluh nama besar di dunia sastra dan budaya, acara ini tak boleh dilupa.

Lembar Sastra Budaya. Di dalamnya ada host yang lincah, ramah, dan cekatan. Ninda Nindiani Karisa, yang akrab disapa Ninda Kariza. Dia tekun mendampingi Bakdi Sumanto–sastrawan, dosen FS UGM–sebagai pengasuh acara. Ini acara yang banyak diminati dan dinanti, meski bukan siaran langsung. Selain edukatif dan mencerahkan bagi khalayak susastra di Yogyakarta dan sekitarnya, juga komunikatif dalam menanggapi audiens. Kenapa bisa?

Redaksi TVRI Yogyakarta membuka surat-menyurat untuk sekedar bertanya atau membuat karya puisi. Dan dengan telaten, Ninda membacakan surat-surat itu, atau jika ada karya puisi dia bacakan untuk kemudian dibahas bersama dengan Bakdi Sumanto. Bagi saya–mahasiswa FS UGM yang saat itu masih tinggal di Bayat–menikmati acara rutin tiga bulanan itu mengasyikkan. Itulah energi yang membuka selubung pemahaman tentang Yogyakarta lengkap dengan tokoh sastra dan karyanya. Jika ada kliping Bernas (8/7/1991) yang memuat kiprah keduanya–Bakdi dan Ninda–sekedar bukti bahwa dunia sastra telah dekat dalam kehidupan saya.

Bergerak lebih jauh, masa-masa era 1970-1990, adalah periode keemasan untuk kesusastraan (di) Yogyakarta. Periode dimana harga seorang penyair ditentukan oleh sebuah puisi yang muncul di selembar halaman koran atau di ruang pentas Purna Budaya dan Senisono. Ruang lain, ada di pengadilan! Ya, periode itu ada sebuah acara yang dikenal dengan Pengadilan Puisi. (Lebih detail silakan klik https://dapobas.kemdikbud.go.id/home?show=isidata&id=1548). Nama-nama besar melata di jalanan terutama Malioboro dengan tokoh utama Umbu Landu Paranggi.

Media massa–koran lokal seperti Bernas dan Kedaulatan Rakyat serta TVRI Yogyakarta–saling mengisi dengan detak kehidupan sastra budaya. Tak lupa, tentu, kalangan intelektual yang tak henti melakukan perdebabatan tentang sebuah tema dalam polemik. Masa-masa yang indah, hidup dan mencerdaskan. Dan jika Ninda, yang kini piawai memerankan diri sebagai MC berkelas sekaligus pengajar yang berkarakter, siapa sangka dulu lihai membaca puisi!

Lama menyimpan klipingnya dan baru awal 2023 bisa bertemu langsung dalam pemilihan Dimas Diajeng Dinas Pariwisata Sleman. Kami sama-sama diminta menjadi juri. Meskipun cukup lama berteman di facebook, agak surprise juga begitu berkolaborasi. Tak jauh dengan apa yang pernah saya lihat di layar kaca, bahkan jauh lebih care, ngrengkuh dan tampil lebih muda, cekatan dan berkompeten. Gaya bicara dan bahasanya tertata dalam intonasi yang elok, jelas membuktikan seberapa jauh perjalanan ditempuh. Lebih njawani dari yang saya duga, sehingga kami lebih mudah menemukan kata sepakat atas penjurian.

Selamat ulang tahun Mbak Ninda, semoga berkah panjang usia penuh makna dan pahala. Suatu saat, kita pasti akan tampil baca puisi bersama. Salam

Ksatrian Sendaren, 8 Maret 2024
*Budayawan Sleman


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co