Nyepi dan Keberagaman

Oleh: Putu Ardana*

Banyak orang mengira bahwa orang Bali (yang beragama Bali maksudnya) itu adalah entitas yang homogen. Padahal sama sekali tidak seperti itu. Ada banyak kesamaan tetapi jauh lebih banyak lagi perbedaannya.

Bali terdiri dari sekitar 1500 desa adat yang otonom, mandiri dan suara tertingginya adalah suara krama (warga desa). Masing-masing desa adat mempunyai pranata-pranatanya sendiri untuk mengatur diri mereka sendiri secara otonom baik sistem sosial, budaya sampai ke ritualnya. Nyaris tidak ada yang sama persis diantara 1500-an desa adat ini. Pranata-pranaya yang mereka buat dan sepakati biasanya sangat terkait erat dengan bentang alam mereka untuk selalu dijaga harmoninya demi kenyamanan hidup mereka.

Salah satu contoh keberagaman itu ada dalam tata laksana hari Nyepi ini. Di desa kami dan sekitarnya, misalnya, Nyepi dimulai pada jam 00.00 tengah malam selama 24 jam, sementara kebanyakan tempat lain memulainya pada jam 06.00 pagi. Pecaruan di level rumah tangga atau mebuu-buu, di tempat kami masih dilakukan dengan caru nasi pelupuhan dimana setelah ritual mebuu-buu ada acara makan bersama (sering juga disebut megarang atau berebut, mirip megibung) nasi beserta lauk pada pada nasi pelupuhan itu bersama keluarga. Sementara di tempat lain, pecaruan mebuu-buunya mungkin dilakukan dengan cara yang lain juga.

Pada hari Ngembak geni, atau hari kedua tahun baru Saka, di tempat kami dan banyak desa sekitar, mempunyai tradisi memasak di jalan (nyakan dirurunge). Pada acara masak dijalan yang akan dimulai jam 00.00 sebentar lagi ini akan terjadi interaksi antarwarga dengan saling mencicipi masakan yang dibuat oleh masing-masing warga dan tentu saja dibarengi guyon-guyon khas orang desa. Di tempat lain tentu saja acara Ngembak geninya akan dilaksanakan dengan cara dan tradisi berbeda pula.

Itu baru satu contoh tentang begitu beragamnya Bali. Saya sering mengatakan bahwa Bali itu seperti etalase kebhinekaan Indonesia. Diantara desa-desa adat di Bali saja nyaris semuanya berbeda dari sistem sosial, pranata-pranatanya, budayanya bahkan sampai ke ritualnya. Belum lagi ditambah dengan banyaknya warga yang beragama non agama Bali yang bermukim di Bali. Keberagaman Bali itulah sesungguhnya kekuatan utama Bali. Dan itu sudah berjalan berabad-abad dalam harmoni.

Maka saya tak habis heran ketika ada upaya-upaya untuk menyeragamkan desa-desa adat di Bali baik dari sisi sistem sosial sampai ke ritualnya.
Mantra-mantra ritual sampai jenis pura yang harus dimiliki setiap desa diupayakan menjadi seragam. Desa adat dan pimpinannya dibuatkan SK oleh lembaga bentukan pemerintah. Bahkan sampai ke awig-awignya (aturan hukum desa adat) sampai dibuatkan template-nya.

Entah darimana ide upaya penyeragaman yang konyol ini. Saya jadi bertanya-tanya, para pemilik dan yang merasa memiliki otoritas ini sebetulnya paham betul atau tidak tentang Bali yang mau mereka atur itu.

Segitu dulu ya, sudah kepanjangan nulisnya, sudah mau siap-siap masak di jalan juga.

Selamat Ngembak geni
Salam dari desa

*Alumni FE UGM, Tokoh Masyarakat Tamblingan


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co