Oleh: Rumakso Setyadi*
Orangnya bersahaja banyak senyum dengan kumisnya yang tipis. Tahun 1998 adalah tahun pengangkatannya sebagai Rektor UGM. Saya ingat masuk 1997 kartu mahasiswa masih ditandatangani Pak Sofian Effendi. Waktu itu awal 1998 demo mahasiswa masih sporadis, kecil di depan Bunderan UGM.
Kehidupan secara umum tidak baik baik saja. Uang saku mahasiswa karena inflasi tinggi akibat krisis tidak cukup untuk makan sebulan, banyak cara diambil salah satunya melalui Komite Kemanusiaan Yogyakarta diadakan makan murah di kompleks Wisma Kagama. Mahasiswa tiap hari antri malam siang bersama dengan para tukang becak dan warga lain yang mengalami penggerusan daya beli dan pendapatan. Harga per porsi waktu itu Rp 150 rupiah kemudian naik lagi menjadi 200 dengan ditambah menu tiap rabu ada daging sehingga bisa menambah protein.
Pak Amal memberikan kebebasan mahasiswa untuk protes. Di depan Gedung Pusat kalau official demonstrasi UGM mahasiswa mengenakan jas almamaternya. Orang mulai resah, pertama isunya anti KKN selalu meriah untuk kemudian menyampaikan pesan demonstrasi kalau kampus sudah bergerak waktu itu. Rezim mulai was-was. Pak Amal kadang tampil dalam demontrasi itu.
Hingga kemudian pada bulan Maret- April mulai ada demo bentrokan dan penyerangan terhadap Gelanggang Mahasiswa. Mahasiswa dipukuli dan dikejar, beberapa ditangkap. Pak Amal turun gelanggang. Seingat saya Wakil Rektor Bambang Kartika yang kemudian mengambil mahasiswa yang ditahan di Polda DIY. Kapoldanya Bani Siswoyo waktu itu. Kadang helikopter polisi berputar-putar ketika terjadi demonstrasi sambil mengingatkan jangan anarkis dari udara. Mau anarkis dari mana, ini kampus. Mungkin maksudnya supaya tidak bentrok dengan petugas. Aparat waktu itu, kalau polisi kalah jumlah, baju doreng mulai keluar. Dan pecah bentrok dari awalnya di Bunderan UGM kemudian sampai di Jl Gejayan. Sampai kemudian Mozes Gatotkaca menjadi korban dan namanya diabadikan menjadi nama jalan.
Harapan bergulir dari KKN ke “Turunkan Suharto” dan “Reformasi Total”. Pesan kian mengeras. Dosen yang sebelumnya tidak turun ke jalan, kemudian menjelang Mei dengan dibebat kepala dengan ikat kepala bertulis “Reformasi Damai” berkumpul bersama di depan Graha Sabha. Semua civitas sekarang turun ke jalan. Pak Amal mengiringi anak-anaknya mengawal Reformasi.

Tanggal 20 Mei diselenggarakan Pisowanan Ageng. Rute sudah ditentukan dari kampus-kampus titik perjalanan sudah ditentukan. Dari UGM menuju Alun-alun Utara. Seluruh Yogyakarta tumplek bleg, protes damai dilakukan antara Keraton-Kampus-Kampung. Tidak ayal lagi, air bah protes itu terjadi dimana-mana di seluruh Indonesia.
Akhirmya Suharto mengundurkan diri. Ada rasa suka cita, ada rasa bingung juga, koq hanya begini? Ternyata orang yang katanya kuat, diktator Orde Baru dengan segala perangkatnya itu, jatuh. Rezim transisi menggantikan masih dengan pro kontra kemudian mengantarkan pada Pemilu 1999. Sebelumnya kelompok oposisi rakyat menggelar apa yang dinamakan Deklarasi Ciganjur. Rezim berubah, tetapi kekuatan lama masih bercokol dan bermetamorfosa menjadi reformis ikut dalam barisan seolah anti-Orde Baru padahal dia bagian Orde Baru.

26 tahun sudah. Pak Amal waktu itu juga ikut dalam agenda desentralisasi, kebebasan politik dan reformasi politik sebagai seorang akademisi ilmu politik. Setelah lengser dari jabatan rektornya, sampai kemudian menjadi Ketua Dewan Pers. Pak Amal adalah penanda tentang zaman reformasi dimana dia ikut memperjuangkan dan kemudian menjadi bagian dalam tata pembaharuan. Tetapi pada akhirnya dia, zaman itu, justru dikembalikan oleh orang yang tidak pernah sama sekali terlibat reformasi seperti Jokowi. Dia dengan para shadow oligarki menggunakan momentum ketika populisme menjadi jawaban dari rezim reformasi yang lamban, kebebasan berpendapat dan politik riuh, tetapi kesejahteraan masih menjadi harapan. Ketika jarak kesenjangan bukannya makin menipis tetapi makin melebar.
Populisme hadir, karena dengan pemimpin yang dianggap “kita”. Dia akan jauh memikirkan kesejahteraan rakyat banyak. BLT tidaklah cukup untuk mensejahterakan, itu hanya balsem ketika ekonomi tidak berpihak. Rakyat ingin penyejahteraan,bukan bantuan, dia janjikan kesejahteraan untuk orang banyak, syaratnya infrastruktur Proyek Strategis Nasional menguras keuangan negara. Kita percaya, kita harus berakit ke hulu, bersakit dahulu untuk mendapatkan hari depan lebih cerah dan kesejahteraan hadir. Tapi apa yang terjadi?
Justru membentuk oligarki yang nyata, rakyat yang dulu dapat BLT ditambahkan jumlahnya dapat beras 10 kg/bln. Untuk mengganjal perutnya supaya tidak ada protes sosial. Populisme itu ternyata sama saja, lebih baik BLT yang dia terbatas, tapi sebagian besar lainnya masih bisa cari makan dengan bebas. Tapi apa yang ditinggalkan Jokowi lebih parah. Kelas menengahnya semakin susah, kelas bawahnya diganjal Bansos.
Rezim populisme ini bahkan lebih parah dari Suharto. Dia naikkan anaknya untuk menggantikannya berkuasa. Karena keberhasilan deal politiknya untuk perpanjangan kekuasaan tidak diterima. Demokrasi kita sudah rusak, reformasi sudah mati. 26 tahun yang lalu dimana Pak Amal ikut memperjuangankan dan selalu membersamai anak-anaknya. Lebih parahnya lagi Rektor penggantinya dari kampus yang sama, juniornya, ikut berkontribusi untuk membentuk rezim murka kuasa itu.
Pak Amal akan tetap diingat jasa dan perjuangannya. Juga sebaliknya rektor penggantinya juga akan ditulis dalam sejarah. Ikut berkontribusi merusak demokrasi, sesuatu yang justru pernah diperjuangkan Pak Amal.
Selamat jalan Pak Amal. Tugasmu di dunia sudah selesai, karya dan perjuangmu akan terus diingat. Tentang UGM dan Reformasi disitu ada Amal yang Ichlas.
*Aktivis Alumni Jurusan Sejarah FIB UGM akrab disapa Markijok



