Pak yang Hanya Guru SD

Oleh: Gati Andoko*

Entah siapa yang mencabutnya. Samping kanan ujung jembatan bambu tertancap balok galih kayu “ngapurancak/nyamplung” tambatan kambing kambing piaraan.

Mulanya sempat anyel juga tiap kali diajak jalan-jalan, Bapak selalu saja mampir di tempat itu. Duduk berlama-lama dalam diam. Seiring tumbuh dewasa, barulah Bapak bercerita kenapa menyempatkan waktu untuk sekedar duduk diam di pematang sawah.

Di situlah, Simprah, adik Bapak terkena ledakan martir yang ditembakkan tentara Belanda tahun 1947. Tubuhnya sudah tidak utuh lagi. Tak urung bulir-bulir air mata bapak keluar setelah beberapa lama duduk.

Tak hanya Simprah, adiknya yang membuat Bapak begitu terkenang dengan tempat ini, melainkan juga empat petak sawah masing-masing seluas 50 ubin, total 200 ubin (hitungan lokal per ubin = 14 m persegi. Tanah pemberian Eyang Buyut atas kecintaannya pada Bapak, terpaksa dijualnya pada tahun 70-an, saat terkena skorsing tak mendapat gaji guru selama 2,5 tahun.

Suk nek pensiun Bapak pengin nggarap neh sawah iki, moga moga ana rejeki,”.

Mengucapkannya sangat lirih. Mendengar itu aku jatuhkan tubuhku begitu saja saking bingungnya berbuat apa. Mau berbelas kasihan, sadar bahwasanya Bapak tidak suka dikasihani. Mau berjanji untuk menebus tanah itu juga tak berani. Ujung-ujungnya pasti kena marah. Apa boleh buat, berdiam mengikuti alur suasana yang Bapak rasakan.

Lemas.

Hingga pensiun tahun 1996 Bapak tak mampu menebus tanah sawah itu kembali. Diputuskannya untuk tetap tinggal di Muntilan dan tak mau lagi menginjakkan kaki di tanah itu. Malu, keinginan yang begitu dalam tidak tercapai.

Kebetulan tahun 2007 ada proyek penelitian kebudayaan di kisaran Kecamatan Puring dan Buayan Kabupaten Kebumen. Aku sempatkan mampir di tanah sawah yang melekat kuat di hati Bapak. Sempat bertemu pula dengan pemilik tanah sawah tersebut. Singkatnya, sang pemilik sawah yang sangat mengenal dekat dengan diri Bapak, menawarkan tanah. Anak-anaknya tak mau menggarap dan di luar kota semua. Sementara beliau hanya tinggal berdua dengan istrinya di desa.

Cukup, begitulah perhitunganku saat itu. Semua honor dari proyek penelitian aku serahkan sebagai bentuk tanda jadi. Bulan-bulan depan aku lunasi, mengangsurnya toh sang pemilik tanah lebih suka diangsur perbulan.

Paaaakkk sawahmu wis baliiiikkk….!”

Teriakku dalam hati saat itu juga. Aaaach…aku urungkan untuk menelpon Bapak dan biar ada kejutan setelah ketemu di rumah nanti.

Namun, tiba tiba hand phone-ku berdering, nada panggil dari Bapak, sedang yang ngangkat adalah adikku, mengabarkan kalau Bapak kecelakaan pagi tadi.

Bapak yang tengah mengayuh sepeda yang baru dibelinya tertabrak pengendara sepeda motor yang ternyata seorang dosen AKMIL, alumni Psikologi YUJIYEM. Akupun mengenal teman-temannya yang juga teman-teman dekatku juga. Sudah terjadi. Itu saja.

Selama 40 hari Bapak koma dan akhirnya tak tertolong jiwanya. Kejutan yang aku rencanakan tertelan bersama ludah yang menggumpal di mulut cukup lama dan tak sempat aku sampaikan.

“Pak…Selamat Hari Guru.”

*Penulis dan pekerja kreatif


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co