Parakitri T. Simbolon: Yang Setia Membaca Indonesia

Oleh: Wahjudi Djaja*

Sering membaca tulisannya baik di Prisma, Kompas maupun beberapa bukunya, belum sekali pun saya berjumpa dengan sosok intelektual berintegritas ini. Banyak bergulat dengan tulisannya pada 1995 saat menulis skripsi di Fakultas Sastra UGM. Bukunya “Menjadi Indonesia” banyak membantu saya dalam membangun kerangka skripsi “Bahasa dan Nasionalisme: Peran Bahasa Melayu Dalam Perjalanan Keindonesiaan 1900-1945”.

Parakitri T. Simbolon, lahir di Pulau Samosir pada 28 Desember 1947. Pribadi dengan kemampuan lengkap ini selain dikenal sebagai seorang wartawan senior juga novelis, sosiolog, cerpenis dan penulis yang andal. Sebuah keberuntungan bagi saya saat menulis skripsi keluar bukunya Menjadi Indonesia (1995).

Secara mendalam dan menyeluruh Parakitri melacak lahirnya akar-akar nasionalisme Indonesia. Kolonialisme Belanda secara tidak langsung berhasil menyatukan Indonesia ke dalam kesatuan administrasi politik, kesatuan ekonomi dan kesatuan budaya. Birokrasi kolonial yang dibangun telah mengintegrasikan Indonesia ke dalam satu pemerintahan. Sistem tanam paksa pun melahirkan kesatuan derita ekonomis. Sedangkan penggunaan bahasa Melayu (kemudian menjadi bahasa Indonesia) membantu terwujudnya kesatuan budaya. Negara bangsa yang dicita-citakan dalam pergerakan nasional baik secara geografis maupun politis–dalam bahasa Ong Hok Ham–merupakan successor state dari Hindia Belanda.

Dalam artikel “Kalau Indonesia Masih Akan Maju” (Kompas, 5/1990) Parakitri menulis betapa sejak lama Indonesia merupakan tabung pembibitan silang sangat kaya dari potensi manusia. Sambil menyitir Vlekke, Parikitri menulis:
Yang lebih mengagumkan adalah keragaman fisik ini tak menentukan keragaman bahasa. Sudah sejak awal Abad XV penduduk kepulauan ini telah melahirkan satu bahasa pergaulan (lingua franca), bahasa Melayu, terutama sejak pertemuan intensif mereka di Malaka.

Dalam pandangan Parakitri, kemerdekaan Indonesia adalah kreativitas bangsa. Dengan penduduk 42 juta (1902) hanya ada 460 orang yang sekolah. Mustahil Indonesia mampu merdeka. Namun, kebangkitan nasional yang mulai meletup awal aba XX mencapai klimaks pada 1922 saat tekad diucapkan. Hanya dalam waktu 30 tahun semua kekuatan bangkit dalam kesatuan dan berhasil merebut kemerdekaan.

Parakitri T Simbolon berpulang pada Minggu (24 Maret 2024). Sosok yang setia membaca Indonesia dalam berbagai fakta. Beragam karya dan penelusuran jejak sejarah menjadi khazanah bangsa ini. Saat Indonesia mengalami transformasi yang luar biasa–termasuk perpindahan Ibukota Negara Nusantara–bisa jadi ada baiknya kita tengok kembali pesan dan tulisan Parakitri. Tanpa gerak bolak-balik antara idelisme dan realisme, kemungkinan utopisme yang muncul.

Selamat jalan Pak Parakitri…

Ksatrian Sendaren, 25 Maret 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co